PANJIMAS.COM – Tahun 99 H, Kekhalifahan Bani Umayyah kehilangan pemimpinnya yang ke-7, Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan rahimahullah. Suatu ketika di masa hidupnya, penasihat negara, Raja’ bin Haiwah rahimahullah, bersuara.
“Wahai Amirul Mukminin, di antara hal yang membuat engkau dijaga di alam kubur dan menerima syafaat dari Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat kelak ialah jika engkau meninggalkan untuk umat Islam khalifah yang adil. Maka siapa gerangan pilihanmu?” ucapnya sepenuh sungguh.
“Aku melihat Umar bin Abdul Aziz,” jawab singkat Khalifah.
Sebelum meninggal, Sulaiman menulis surat wasiat berisi nama yang ia pilih untuk menggantikan posisinya. Wasiat ini dirahasiakan dari kalangan menteri dan keluarga istana. Ia hanya memerintahkan agar para menteri dan gubernur berbaiat kepada sosok yang dirahasiakan tersebut.
Pangangkatan Khalifah Bani Umayyah ke-8 memang berbeda dari tradisinya, anak melanjutkan ayahnya. Hal ini dikarenakan putra Khalifah Sulaiman sudah wafat sebelum ayahandanya. Suatu hari, Sang Khalifah dijemput malaikat. Masyarakat Muslim bergemuruh dalam tanda tanya, siapa sosok pilihan yang akan melanjutkannya?
Setelah jenazah Sulaiman bin Abdul Malik rahimahullah selesai diurus, masyarakat berkumpul di masjid menanti diumumkannya siapa pemimpin baru mereka. Detik demi detik mengusik, sampai detik munculnya ucapan yang ditunggu semua orang. Raja’ bin Haiwah dengan penuh wibawa berseru, “Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya namamulah yang tertulis dalam surat ini!”
Hadirin merespon dengan gemuruh ekspresi masing-masing. Sang Katib (Sekretaris Istana) yang menjabat sejak 97 H (dua tahun) itu kini menjadi Amirul Mukminin, Khalifah Bani Umayyah yang ke-8. Sementara itu, Umar bin Abdul-Aziz bangkit, berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa permusyawaratan terlebih dahulu denganku. Dan aku pun tiada pernah meminta jabatan itu. Sesungguhnya aku mencabut baiat yang ada di lehermu, dan pilihlah siapa saja yang kalian kehendaki!”
Luar biasa… jabatan seolah makanan basi bagi Umar. Masyarakat pun terpana, mereka terpaku kehendak agar Umar menerima jabatan Khalifah. Akhirnya, dengan berat hati pemuda 36 tahun ini berkata iya. Ia menangis, tangisnya jujur alami tanpa buatan. Air matanya lelehan hati yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, takut apabila ia tak mampu mengemban amanah besar itu dengan baik sehingga akan diganjar dengan nerakaNya.
Umar pamit pulang setelah menolak segala fasilitas Khalifah untuknya. Sesampai di rumah, ia membayangkan gambaran amanah mengurus seluruh wilayah kekhalifahan yang amat luas. Badannya pun telah letih setelah mengurus jenazah Sulaiman. Ia butuh istirahat, ia ingin tidur siang.
Abdul Malik rahimahullah, putra Umar yang berumur 15 tahun, mendekat dan bertanya, “Apa yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?”
“Wahai anakku, ayahmu keletihan mengurus jenazah ayah saudaramu, dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini sebelumnya,” jawabnya.
“Lalu engkau mau apa, Ayah?”
“Ayah mau tidur sebentar sampai Zuhur, lalu keluar untuk shalat bersama umat.”
Abdul Malik tak diam. Ia melontarkan pertanyaan menggelitik, “Ayah, siapa yang menjamin ayah masih hidup hingga Zuhur nanti, sedang sekarang adalah tanggung jawab Amirul Mukminin mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi?”
Mendengarnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz terperanjat. Ia meminta anaknya mendekat, lalu mengucupnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang memunculkan dari keturunanku orang yang menolong agamaku.”
Hari kedua menjabat Khalifah, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkhutbah di depan khalayak. Di ujung khutbahnya ia berucap, “Wahai manusia, tiada Nabi selepas Muhammad shalallahu alaihi wassalam dan tiada kitab selepas al-Qur’an. Aku bukanlah penentu hukum, aku hanyalah pelaksana hukum Allah. Aku bukan ahli bid’ah, aku seorang pengikut sunah. Aku bukan orang terbaik dari kalangan Anda, aku hanya orang yang paling berat tanggung jawabnya. Aku mengucapkan ini karena tahu kalau dirikulah orang yang paling banyak berdosa di sisi Allah.”
Selepas ucapan itu Sang Khalifah duduk dan menangis. “Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku,” ucapnya dengan nada berat.
Perbaikan peradaban Islam sangat tampak selama era Umar bin Abdul Aziz. Namun tugas itu tak lama diembannya. Keturunan Umar bin Khattab ini hanya memeritah selama 2 tahun 5 bulan ditambah 5 hari saja, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memanggilnya.
Sejarah mencatat prestasi Umar bin Abdul Azis rahimahullah yang sangat menakjubkan. Kemakmuran benar-benar bukan bualan di eranya. Sampai-sampai, pendistribusian zakat menjadi pekerjaan yang sangat sulit oleh sebab tiada lagi rakyatnya yang memenuhi kriteria mustahik (penerima zakat). Harta zakat menjadi gunung yang tak tersentuh. Sampai akhirnya muncul ijtihad untuk menawarkannya kepada siapa saja yang membutuhkan biaya menikah. Karena masih berlimpah, kemudian dialokasikanlah harta benda tersebut untuk keperluan lain.
Dahsyatnya lagi, kesejahteraan umat di era Umar bin Abdul-Aziz rahimahullah tak membuat Sang Khalifah merasa wajar bergaya hidup mewah. Kepribadian zuhudnya luar biasa. Bila ditanya apa yang akan diwariskan kepada anak-anaknya, ia menjawab pula dengan tanya, “Apa yang akan kuwariskan karena aku tidak memiliki apa-apa?”
“Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak berharta?” tanya seseorang.
“Jika anak-anakku shalih, Allah-lah yang mengurusnya. Tapi jika mereka tidak shalih, aku tidak mau meninggalkan hartaku untuk orang yang mendurhakai Allah, lalu menggunakan harta itu untuk berbuat durhaka,” jawab Umar mantab mencerminkan tawakkal yang kuat.
Suatu ketika Umar bin Abdul Azis rahimahullah mengumpulkan semua anaknya lalu berkata, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu menghadapi dua pilihan. Menjadikan kalian semua kaya dan ayah masuk neraka, atau kalian pas-pasan seperti ini tapi ayah masuk surga (kerana tidak menggunakan uang umat). Dan sungguh, wahai anak-anakku, ayah telah memilih surga.”
Benar, anak-anak Umar tidak berharta seperti anak-anak para gubernurnya. Namun sepeninggalnya sampai di masa-masa berikutnya, keturunan Khalifah Bani Umayyah ke-8 ini menjadi para hartawan berkat doa dan ketawakalan Amirul Mukminin yang bergelar Umar II ini. Wallahu a’lam. [IB]