UKHIA, (Panjimas.com) – Ibu Negara Turki, Emine Erdogan menyerahkan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi Muslim Rohingya saat Ia berkunjung ke sebuah kamp di dekat perbatasan Myanmar, Kamis (07/09/2017).
“Tidak mungkin jika tidak tersentuh oleh hal semacam ini sebagai manusia,” pungkas Emine Erdogan setelah membagikan boks-boks paket bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi yang sangat putus asa di kamp di Kutupalong, yang terletak di daerah terdepan perbatasan Myanmar-Bangladesh.
“Saya berharap dunia memikirkan hal ini dan membantu mereka dengan bantuan kemanusiaan dan juga secara politis”, ujarnya, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
Menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR, sekitar 164.000 penduduk Rohingya telah melewati perbatasan sejak 25 Agustus, ketika Militer Myanmar melancarkan operasi militernya melawan militan Rohingya.
Namun, para pengungsi mengatakan bahwa tindakan keras tersebut telah digunakan untuk menutupi tindak pembunuhan, penjarahan dan pembakaran desa-desa Muslim Rohingya yang meluas oleh pihak Militer Myanmar dan gerombolan ekstrimis Buddha.
Emine Erdogan, yang didampingi oleh anaknya Bilal beserta Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, menyerukan masyarakat internasional untuk terlibat menghentikan kekerasan tersebut, yang Ia gambarkan sebagai “tragedi yang luar biasa di zaman ini”.
Pertemuan PBB
“Kami ingin menunjukkan kepada dunia situasi ini di sini,” kata Menlu Cavusoglu.
“Kami berusaha menghentikan ini. Kami akan mengadakan pertemuan di Astana dengan dunia Islam dan akan mengadakan pertemuan lagi di New York, mudah-mudahan kami menemukan solusi permanen untuk masalah di Arakan [Rakhine] ini”, pungkasnya.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah berjanji untuk membahas isu penderitaan Muslim Rohingya di Majelis Umum PBB pada 19 September mendatang.
Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi militer kembali diluncurkan.
Penindasan Rohingya Terstruktur dan Sistematis
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Minoritas Etnis Paling Tertindas
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sementara itu menurut UN’s Office for the Coordination of Humanitarian Affairs [UNCHA], saat ini terdapat lebih dari 87.000 Muslim Rohingya terpaksa mengungsi, sebagian tidak memiliki kewarganegaaraan resmi.
Di antara mereka, setidaknya 21.000 orang diperkirakan mengungsi di daerah dekat perbatasan barat Myanmar dengan Bangladesh.
Kekerasan di negara bagian Rakhine menuai kecaman keras internasional terhadap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, dirinya dianggap kurang proaktif dalam membantu anggota minoritas Muslim Rohingya, yang ditolak kewarganegaraannya di Myanmar yang didominasi umat Buddha itu.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam pemerintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar? [IZ]