(Panjimas.com) – Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Qirah, dari ayahnya berkata, Rasulullah bersabda, “Laki-laki yang sempurna sangat banyak sekali. Dan tiada yang sempurna dari kalangan wanita, kecuali tiga orang, Maryam binti Imran, Asiyah, istri Fir’aun, dan Khadijah binti Khuwailid. Sedangkan keutamaan Aisyah dibanding semua wanita seperti keunggulan tsarid (sejenis makanan) atas semua makanan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Semua istri merindukan dan mendambakan dirinya menjadi sosok wanita paling sempurna. Jalan satu-satunya adalah bersungguh-sungguh dalam patuh, taat, dan tawadhu’ (tidak angkuh) kepada suaminya.
Kasus istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth yang tidak patuh kepada suaminya adalah bukti terbaik, sekaligus contoh terburuk dalam sejarah seorang istri. Wanita shalihah mengambil teladan dari tiga sosok wanita sempurna, yaitu; Dari Maryam, dia mengambil ibadah, keindahan hidup bersama Allah, dan bagaimana dia mendidik anaknya, Isa Alaihissalam dengan pendidikan yang baik. Dari Khadijah, dia belajar bagaimana hubungan dengan suami yang selalu mengajak kepada kebaikan. Dari Asiyah binti Muzahim, dia menjadi panutan, karena kepatuhan kepada suaminya, kesabaran atas perlakuan kasarnya, keburukan perangainya dan kejelekan hubungannya.
Salah satu tanda kesempurnaan Asiyah adalah ia tetap menjadi istri yang shalihah di tengah komunitas yang tidak mendukungnya untuk tetap berhubungan baik dengan suami yang lalim dan juga tidak terdapat seruan untuk berbicara dengan lembut, berinteraksi yang baik atau menjaga kehormatan suaminya. Inilah yang dapat mengangkat derajat Asiyah dan meninggikan kedudukannya. Dan inilah yang menjadi sikap wanita shalihah.
Sekarang kita menyaksikan banyak istri yang menyuguhkan perlakuan tidak baik kepada suaminya. Perbuatan terlarang dan hal-hal mungkar secara vulgar mereka kerjakan. Kebinasaan mereka dan adanya faktor-faktor pendukung mengingatkan kita kepada dua wanita penghuni neraka; istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth. Keduanya adalah istri seorang nabi.
Oleh karena itu, tidak etis jika sikap seorang istri yang membangkang dan tidak patuh adalah karena akhlak suaminya yang buruk. Dia membalas sikap suaminya dengan diam dan melawan. Dia berusaha balas dendam dengan menceburkan diri ke dalam kubangan hawa nafsu yang menjijikan. Lalu bagaimana seandainya jika dia hidup dengan Fir’aun?!
Wanita shalihah tidak menggantungkan kebaikan dirinya dengan kebaikan suaminya. Dia laksana emas yang tetap menjadi emas meski suasana dan kondisi yang berbeda.
Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun memberi pelajaran kepada wanita shalihah dan wanita dunia tentang pentingnya berpegang teguh kepada prinsip dan istiqamah dalam kebaikan.
Banyak sekali wanita shalihah yang rela meninggalkan agama dan kebaikannya pasca-pernikahannya dengan laki-laki yang tidak baik. Sebelum pernikahannya, kita melihatnya tidak ubahnya seperti obor kebaikan dan panutan di dalam keluarganya. dia tidak takut menyuruh saudarinya untuk shalat, bersabar melaksanakannya, komitmen dengan amar makruf nahi mungkar, dan bersabar atas musibah yang menimpanya. Sayang, pasca-menikah, dia tidak pernah membangunkan suami untuk shalat, tidak memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari perbuatan mungkar serta tidak menampakkan sedikit pun ke-shalihah-an dalam dirinya, meski kepada anak-anaknya. Dia tidak menjadi pendorong suami menjadi lebih baik bahkan mengikuti suaminya dalam keburukan.
Dari Asiyah binti Muzahim, kita mengambil pelajaran tentang keberanian seorang istri yang mampu menaklukkan kesombongan laki-laki. Ketika dia mengumumkan keimanannya kepada Allah di depan manusia super-lalim. Dia tidak peduli kematian yang mengintainya. Dengan lantang, dia mengemukakan kalimat kebenaran. Kepalanya terasa berat dan dia yakin Fir’aun pasti akan membunuhnya. Benar, dia tetap bertahan pada keyakinannya sampai Fir’aun membunuhnya dan mengusirnya dari kehidupan ini. Allah menyambutnya dengan baik dan menempatkannya di sisi-Nya pada sebuah rumah di surga. [DP]