(Panjimas.com) – Di suatu kampung, tinggal sebuah keluarga besar asli kelahiran setempat. Konon, sudah beberapa turunan leluhurnya menghuni kampung itu. Kini jadi tujuh belas kepala keluarga. Rumah mereka berjajar, berdampingan, berhadapan, dan ada yang saling membelakangi. Dulu lahan itu milik eyang yang kemudian diwariskan ke orang tua mereka, lalu ke mereka.
Suatu siang seorang anggota keluarga mengeluhkan keponakannya. “Sudah kuliah, tetep masih nggak mau nyapu halaman rumah,” ucapnya.
Bibi yang lain berkata, “Padahal ibunya rajin sekali lho sejak muda. Sejak kecil malah.”
Si Gadis jadi perbincangan bibi-bibinya yang biasa ngerumpi di teras rumah keluarga yang paling tua. Teras itu memang enak untuk bercengkerama. Cukup luas, ada tempat duduk di ketiga sisinya. Halamannya sebenarnya sempit, tapi teduh dan nyaman karena dirindangi dua pohon nangka besar dan sedikit tanaman hias.
Nyaris tiap hari. Saat agenda beberes rumah tuntas, mereka berkumpul dan berbincang-bincang berbagai soal. Keponakan yang satu itu nyaris selalu masuk daftar bahan perbincangan, kecuali pas ada ibunya.
Suatu hari, saat kumpul-kumpul ngerumpi, Pak Kiai lewat dan berhenti sejenak. Ia pensiunan guru agama yang sering diminta berceramah di kampung-kampung sekitar. Ia pendatang, dulu membeli lahan di kampung itu saat masih muda, saat baru beberapa tahun jadi guru SD sebelah. Pak Kiai orangnya ramah, senyumnya murah. Untuk ke masjid, ia melewati jalan depan rumah tempat ngerumpi.
Jelang siang Pak Kiai berjalan kaki ke masjid. Belum waktunya azan, tapi ia ingin buka-buka pintu dulu dan bersih-bersih kaca yang berdebu. Itulah kebiasaannya. Tapi rupanya anak-anak muda juga tak cepat tanggap, tak segera menangkap pesan bahwa rutinitas baik lelaki tua itu harus mereka teladani dan jaga.
Pak Kiai menyapa ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. “Assalamu’alaikum,” senyumnya menyertai salam.
“Wa’alaikumussalam, Pak Dul,” jawab serempak ibu-ibu. Pak Kiai itu bernama Abdul Sukri, dan akrab dipanggil Pak Dul.
“Itu lho, Pak, Si Vina, nyapu halamannya sendiri aja nggak pernah. Anak kuliahan kok kayak gitu,” lapor salah seorang.
“Iya tuh, Pak, mbok dibilangin. Mungkin kalau Pak Dul yang nasihatin manjur,” timpal yang lain.
“Hehehe…” Tawa ramah Pak Kiai membuka jawaban, “kita semua ini sedang belajar, Bu. Si Vina itu lagi menjalani proses belajar. Bukan hanya di bangku kuliah, tapi di kehidupannya, di umurnya. Dan kita pun sama. Semua sedang belajar.”
Beberapa hari setelah itu ada pengajian di masjid. Pak Kiai bertugas sebagai penceramah. Rupanya ia ingin memerjelas apa yang sudah disampaikannya kepada ibu-ibu tukang ngerumpi. “Kita semua sedang belajar. Kita belajar karena belum pintar, belum baik, masih banyak kesalahan dan kekurangan. Belajar membuat diri lebih berharga. Maka mari belajar dan terus belajar. Jadikan acara pengajian ini sebagai ajang belajar. Jadikan hari-hari kita sebagai ruang dan waktu belajar. Dan belajar itu untuk mengenal diri dan meningkatkan mutu diri. Agar kita semakin baik dari hari ke hari. Dan kunci belajar adalah mawas diri, introspeksi. Bukan sibuk menuding orang lain sampai lupa dosanya sendiri!”
Begitu cara Pak Kiai mengingatkan ibu-ibu ngerumpi. Berproses, dengan ramah-tamah sehari-hari, lalu “menyergap” hati kala momen strategis didapati. Semoga cerita ini jadi renungan untuk memerbaiki akhlaq dan kepekaan hati kita semua.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah dilakukannya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu lakukan.” (al-Hasyr: 18). Wallahu a’lam. [IB]