JAKARTA, (Panjimas.com) — Bulan Muharam, terutama Hari Asyura, mendapatkan perlakuan istimewa dari berbagai kalangan, baik umat Islam maupun di luar umat Islam. Nabi Muhammad Saw sebagai penutup para nabi dan rasul, telah mengajarkan cara penghormatan terhadap bulan Muharram dan menyikapi hari Asyura tersebut dalam bentuk pelaksanaan ibadah sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, yakni berupa ibadah puasa sunnah pada tanggal 9-10 Muharram.
Hal ini disampaikan oleh KH. Amin Muchtar dalam tulisannya di laman persis.or.id pada hari Selasa (18/09), perihal keutamaan yang terjadi pada bulan Muharram.
“Bentuk penghormatan dan cara menyikapi demikian itu terus dilestarikan oleh para sahabat dan umat beliau di seluruh dunia yang konsisten dengan Sunnah Nabawiyyah,” tulis KH Amin Muchtar.
Meski demikian menurut beliau, terdapat sekelompok orang yang mengaku pengikut Ahlul Bait, berakidah Rafidhah alias Syiah Itsna ‘Asyariyyah alias Imamiyyah alias Jakfariyyah, yang menyikapi Asyura dengan keyakinan dan sikap berbeda. Bagi mereka, Asyura dijadikan hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai wujud bela sungkawa serta ungkapan kesedihan dan penyesalan atas kematian Husen, cucu Nabi saw.
“Hari Asyura disikapi oleh Syiah Rafidhah, sekelompok orang yang membangun agama dan keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka Syiah, orang-orang yang beraqidah sesat,” ujarnya.
Tentu saja perilaku demikian itu bukan berasal dari tradisi Islam dan memang sangat bertentangan dengan esensi ajaran Islam yang sesuai dengan akal sehat. Islam telah melarang melukai diri, tidak boleh meratapi mayat, dan nilai-nilai humanis (manusiawi) lainnya.
Sabda Nabi saw : “Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.” HR. Al-Bukhari, Al-Baihaqi, Ibnu Abu Syaibah, dan Abu Ya’la.
“Pada sisi lain, jika kita telusuri jejak riwayat dan sejarah mereka, tidak kita temukan sikap yang demikian “heboh” itu mereka tunjukkan pada hari meninggalnya Ali bin Abi Thalib. Bukankah Ali juga wafat terbunuh ?,” pungkas KH Amin Muchtar.
Selain itu, dalam ragam “ritual Karbala” tercium aroma dendam membara atas kekalahan suksesi kepemimpinan umat. Pasalnya, ritual Asyura itu dibumbui kecaman terhadap Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan. Padahal, apa hubungannya peristiwa Karbala dengan mereka? Bukankah para shahabat mulia ini telah wafat pada saat peristiwa itu bergolak ?.
“Tidak berlebihan kiranya jika disimpulkan bahwa peristiwa Karbala merupakan momentum distribusi propaganda kaum Syiah untuk menjatuhkan kemuliaan dan kredibilitas para shahabat sebagai sasaran utama. Adapun sahabat Yazid bin Mu’awiyah hanyalah “sasaran antara”. Sementara Husain wafat secara tragis sebagai “tumbal” ambisi politik kaum Syiah,” pungkasnya.[ES]