JAKARTA, (Panjimas.com) – Kebohongan Ratna Sarumpaet (RS) ternyata tidak berlangsung mulus dengan sekedar mengaku dan meminta maaf. Secara tiba-tiba Polisi menggebrak dunia hukum dengan Pasal 14 dan 15 UU No. 1/Tahun 1946. UU yang biasanya dikenal hanya memberlakukan Wetboek van Strafrecht di Jaman Belanda ternyata mencantumkan delik lain diluar KUHP yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan 15 nya.
Tak kurang gebrakan tersebut diikuti dengan upaya paksa penangkapan dan penahanan terhadap RS. Dunia hukum pun menjadi terusik,tak kurang beberapa Ahli Hukum seperti Prof.Mahfud MD angkat bicara di mana pada intinya mengatakan bahwa pasal-pasal itu masuk bahkan kemungkinan kalau ditemukan kesengajaan pada Prabowo dkk hal itu bisa diterapkan.
Demikian yang disampaikan oleh M Mahendradatta selaku praktisi hukum senior yang juga sekaligus pernah menjabat sebagai Mantan Wakil Ketua Tim Hukum Mega-Prabowo pada berapa tahun lalu tersebut.
Menurut Mahndradatta adapun jika Prof Mahfud MD yang juga adalah seorang mantan Ketua MK ini nampaknya tidak membahas Penjelasan (Resmi) pasal-pasal itu sebagaimana yang ikut serta dengan Undang Undang itu.
“Jelas penjelasan pasal 14 dan 15 pada bagian pertamanya menggantikan Pasal 171 KUHP dengan diperluas. Kemudian memasukan ketentuan baru yang berupa delik materiel dimana semua unsur delik nya harus dibuktikan,” katanya.
Hal utama yang menjadikan pasal itu delik materiel adalah menimbulkan “Keonaran” sedang keonaran disini dibatasi dengan penjelasan Pasal 14 yaitu : Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan memuat juga keonaran.
“Oleh karenanya keonaran ini apa dan wajib dibuktikan, apakah keonaran hanya sekedar ramai di medsos sudah dibilang onar atau sesuai penjelasan (resmi) nya “lebih hebat daripada kegelisahan itu sendiri,” tuturnya pada hari Kamis (10/10) di Jakarta.
Terakhir, Mahendradatta juga menyampaikan. Kini para ahli hukum semuanya yang dikenal umum, hampir seluruhnya dianggap semua bias, maka jalan satu-satu nya hanya tinggal tafsir pengadilan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.
Karena itu, tidak perlu berputar-putar membiarkan polemik sudah saatnya pengadilan bicara apa tafsirnya terhadap Keonaran (yang lebih hebat daripada kegelisahan),karena kalau berlama-lama jangan sampai tindakan hukum terhadap RS justru membuat polemik saat tahapan Pilpres ini. [ES]