JAKARTA, (Panjimas.com) — Ketua Komisi I DPR RI, Dr. Abdul Kharis Al Masyhari mengecam keras sikap pemerintah China yang menerapkan kebijakan diskriminatif dan pelabelan negatif terhadap etnik minoritas Muslim di Xinjiang.
Abdul Kharis Al Masyhari menyatakan bahwa, pihaknya ingin ada penelusuran fakta atas berita adanya pembatasan kelahiran etnik minoritas Muslim di Xinjiang yang berlangsung sejak 2014. Demikian pula dengan kebijakan yang dibungkus agenda “Memerangi Terorisme.”
“Apabila benar, maka ini menunjukkan pemerintah China terkesan mencap teroris terhadap etnik Uighur dan Muslim,” pungkas Abdul Kharis dalam keterangan persnya, Senin (17/12), dikutip dari laman Fraksi PKS.
Abdul Kharis melanjutkan, dirinya menginginkan klarifikasi berita tentang adanya pelanggaran terhadap hak mendapatkan kesetaraan perlakuan sebagai warga negara.
Pada tahun 2015, Xinjiang juga telah mendobelkan pembayaran bagi pasangan Uighur yang memiliki anak lebih rendah dari kuota mereka sebesar 6000 yuan (950 dollar). Etnik China Han dipaksa pindah ke Xinjiang sejak 1776. Menurut sensus dari awal abad 19. 75 persen penduduk Xinjiang adalah Uigur. Namun berdasar HRW (Human Rights Watch), diawal reformasi ekonomi China pada 1978, setelah pemaksaan KB, jumlah penduduk Uighur anjlok menjadi 42 persen.
“Apabila benar telah terjadi penindasan terhadap Uighur, diskriminasi etnik, kontrol yang menindas atas praktik beribadah, serta upaya sistematis pemiskinan, dan pengangguran yang terus berlangsung di Xinjiang, ini semua layak dikecam dunia,” tegas Abdul Kharis.
Abdul Kharis menyatakan bahwa perlu klarifikasi segera terhadap berita yang kerap beredar sejak 2014 bahwa memakai jilbab di ruang publik, termasuk di kendaraan umum dan ketika menikah dengan upacara agama dilarang dan didenda sebesar 353 dollar.
“Kami juga ingin klarifikasi apakah mereka yang tidak mau minum alkohol, tidak merokok atau tidak mau makan makanan non halal, dikategorikan radikal dalam definisi pemerintah China,” tukas politisi PKS yang berasal Dapil V Jawa Tengah ini.
Apabila benar demikian, Pemerintah China layak segera mengoreksi kebijakan yang telah melanggar prinsip Hak Asasi Manusia tersebut.
Menurut Abdul Kharis, Komisi-nya bermitra dengan Kementrian Luar Negeri, Indonesia perlu melakukan upaya diplomatik terkait kebijakan yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa koreksi tersebut.
“Pemerintah RI harus mendesak Pemerintah PRC untuk mengijinkan Tim Pencari Fakta Independent untuk melakukan pencarian fakta terhadap dugaan pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Xinjiang terhadap etnis Uyhgur,” tegas Abdul Kharis.[IZ]