(Panjimas.com) – Nafsu besar tenaga kurang. Begitulah perumpamaan yang pas untuk Indonesia hari-hari ini. Hasrat membangun negeri dengan gegap-gempita dipaksa pupus karena ketidaan fulus. Penyebab utamanya, penerimaan negara jeblok.
Pajak yang menjadi penyumbang utama penerimaan negara sudah lama selalu meleset. Target-target yang dipatok, selalu tidak berhasil dicapai. Padahal, target-target itu biasanya sudah direvisi (baca; diturunkan) di APBN-Perubahan menjadi lebih rendah ketimbang APBN. Tapi, begitulah yang terjadi. Kinerja Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan aparatnya memang di bawah banderol.
Bayang-bayang terjadinya kekurangan penerimaan pajak (shortfall) makin kentara seiring mencuatnya fakta paling anyar. Hingga Oktober 2017, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp869,6 triliun. Ini artinya hanya 67,7% dari target APBNP 2017 yang Rp1.238,6 triliun. Mungkinkah Sri dan jajarannya mampu memenuhi target yang mereka tetapkan sendiri? Ingat, waktunya hanya kurang dari sebulan lebih sedikit. Padahal, kekurangannya masih Rp369 triliun.
Itukah sebabnya Sri seperti kalap? Dia berusaha mengais semua sumber pendapatan untuk mendongkrak penerimaan pajak. Sayangnya, perempuan mantan petinggi IMF dan Bank Dunia ini kelewat sibuk dan asyik merogoh kocek rakyat menengah-bawah. Sedangkan rakyat yang sudah kaya atau kelewat kaya justru nyaris tidak disentuhnya.
Sikap galak Sri juga jadi pupus kalau sudah berhadapan dengan asing. Padahal, dari sini justru potensi pendapatannya jauh lebih besar ketimbang mengurusi printal-printil alias recehan dari kantong rakyat. Freeport, misalnya, BPK menemukan potensi pelanggaran berupa kurang bayar mencapai Rp6,9 triliun. Begitu juga aneka pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan yang pasti jauh lebih bergizi ketimbang PNBP dari SPP anak sekolahan, biaya kesehatan, nikah-talak-cerai-rujuk, dan sebagainya.
Pajak di tangan Sri menjadi semacam ‘kutukan’. Dikutak-katik seperti apa pun, tetap saja jeblok. Jurang antara pendapatan dan belanja negara kian lebar. Defisit makin besar. Angkanya sudah mendekati batas maksimum yang diizinkan UU, yaitu 3%. Itulah sebabnya ada wacana mengubah UU agar defisit anggaran bisa diperbesar hingga lebih dari 3%.
Katanya hebat…?
Kembali ke soal ‘kutukan’ penerimaan pajak, sejatinya ini benar-benar mengherankan. Bagaimana mungkin mantan petinggi dua lembaga keuangan internasional, gagap dalam mengemban tugasnya selaku Bendahara Negara? Katanya dia ekonom hebat? Bukankah perempuan ini juga yang beberapa waktu lalu kebanjiran penghargaan dari pasar sebagai Menkeu terbaik Asia?
Moncernya sang jagoan ternyata cuma karena polesan media mainstream yang berkolaborasi dengan kepentingan pasar. Buktinya, pajak tetap saja terpuruk. Padahal dia juga sudah menggandeng Bank Dunia, almamater sekaligus kiblatnya dalam mengurus ekonomi Indonesia. Bukan cuma sosok dan nasehatnya, lembaga ini juga kembali mengucurkan pinjaman senilai US$300 juta untuk mereformasi fiskal Indonesia, awal November silam. Katanya, duit itu untuk membantu meningkatkan kualitas belanja pemerintah, administrasi pendapatan, dan kebijakan perpajakan.
Khusus di bidang perpajakan, bantuan tadi dimaksudkan agar sistem perpajakan bisa lebih efisien dan adil. Bank Dunia menilai selama ini sebagian rancangan kebijakan pajak kita kurang optimal. Akibatnya, basis pajak terbatas dan sulit dalam pengelolaannya.
Asal tahu saja, pinjaman untuk mereformasi perpajakan ini bukan kali pertama. Sebelumnya, reformasi perpajakan jilid satu dimulai pada 2002 dan berakhir tahun 2008. Tidak jelas betul berapa anggaran yang digelontorkan untuk proyek ini. Tapi sangat mungkin nilainya puluhan bahkan ratusan juta dolar.
Karena dianggap kurang memadai, maka digulirkan reformasi perpajakan jilid dua bertajuk Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR) yang dimulai pertengahan 2009. Ia merupakan penyempurnaan dari proses bisnis perpajakan, yang berbasis teknologi informasi terkini, sekaligus perbaikan sistem dan manajemen SDM. Total Pendanaan PINTAR mencapai US$146 juta. Dari jumlah itu, 75% atau US$110 juta dibiayai dari pinjaman Bank Dunia. Sisanya yang US$36 juta bersumber dari APBN.
Apa hasilnya? Nyaris tak terdengar. Reformasi perpajakan yang dijanjikannya ternyata majal alias tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Bahkan, pada era itu juga mencuat skandal Gayus Tambunan, pegawai Pajak golongan III yang punya simpanan ratusan miliar rupiah. Ini jelas pemborosan yang keterlaluan.
Akankah pinjaman senilai US$300 juta bakal mengalami nasib serupa? Dihitung dengan kurs tengah BI yang hari ini Rp13.511/US$, maka utang baru itu setara dengan Rp4,053 triliun lebih. Kasihan rakyat, harus membayar utang yang digunakan untuk merogoh koceknya sendiri lebih dalam dan lebih dalam lagi. Tapi, sepertinya, yang sudah-sudah, penerimaan perpajakan tetap saja bakal jeblok. Waduhhh…
Terendah di Asia
Rendahnya penerimaan negara ini jelas bukti nyata kinerja Sri yang pas-pasan. Ia sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan rasio PDB terendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Kondisi ini pula yang menyebabkan dua lembaga pemeringkat surat utang internasional, Fitch Ratings dan Moody’s memberi peringatan kepada Pemerintah Indonesia. Pasalnya, penerimaan negara yang masih rendah dan penghematan belanja negara bisa berpengaruh pada peringkat utang Indonesia.
Peringatan itu disampaikan tim Fitch usai bertemu Sri dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Fitch juga banyak menanyakan soal penerimaan negara, iklim investasi, dan reformasi struktural. Sedangkan Moody’s berpendapat, pemangkasan belanja negara dan batasan defisit anggaran memicu sentimen negatif.
Yang serunya, sentilan Fitch dan Moody’s tadi jelas menerpa Sri. Bukankah rendahnya penerimaan negara menjadi tanggung jawab dia? Sementara soal pemangkasan anggaran, memang sudah lama menjadi senjata andalan Menkeu berpaham neolib ini. Gunting tajamnya menyambar-nyambar aneka anggaran belanja sosial yang berdampak pada melangitnya harga berbagai kebutuhan pokok. Rakyat pun kian tercekik. Sementara si penyusun APBN dan pembuat utang, dengan tanpa merasa berdosa, terus saja tertawa terkikik-kikik. [RN]
Jakarta, 27 November 2017
Penulis, Edy Mulyadi
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)