MEDAN, (Panjimas.com) – Sudah dua tahun terakhir, Tarmizy Harva tak mau menerima order foto prewed (pre-wedding). Kalau kepepet lantaran yang meminta saudara atau karibnya, dia akan lempar ke fotografer lain. Hatta bayarannya menggiurkan sekalipun.
Itulah salah satu konsekuensi ‘’hijrah’’ Tarmizy. ‘’Saya baru dua tahun hijrah,’’ ujar fotografer senior tersebut dalam diskusi Kelas Berbagi di Kede Wa Jenggot Jalan Perjuangan, Setia Budi, Medan, Sumatera Utara, Senin (5/2) malam.
Belasan aktivis dakwah dan kemanusiaan mengikuti perbincangan itu. Mereka berasal dari sejumlah organisasi atau komunitas yakni Ikatan Alumni IPB, Daarul Quran, Dewan Dakwah, PKPU, BSMI, LAZ Ulil Albab, Pesantren Raudhatul Hasanah, Komunitas Medan Bergerak, dan Yayasan Harva.
Bertindak sebagai fasilitator diskusi adalah Nurbowo yang aktif di Daarul Quran, Dewan Dakwah, dan Forum Jurnalis Muslim (Forjim).
Tarmizy yang pernah menjadi juru foto Majalah Tempo, Gamma, dan belasan tahun jadi stringer kantor berita Reuters, mengungkapkan, perubahan hidupnya disebabkan kondisi lingkungan pekerjaan dan dukungan sang istri.
‘’Ketika saya merasa tidak puas dan kecewa dengan lingkungan pekerjaan saya, istri saya mengingatkan untuk kembali ke Al Quran. Waktu itu saya memang sudah jauh dari Quran,’’ ungkapnya didampingi istri.
Setelah mulai membaca Quran lagi, spiritulitas Tarmizy terbangunkan. ‘’Alhamdulillah dalam waktu dua tahun terakhir saya sudah khatam baca Quran dan terjemahnya tiga kali,’’ tuturnya.
Kini, Tarmizy selektif dalam menerima pekerjaan dan pertemanan. Sehari-hari ia mengajar di kampus, menggerakkan yayasan kepedulian, dan menjadi fotografer free-lance.
Dia berharap, melalui diskusi itu terjalin komunitas jurnalistik dakwah dan kemanusiaan di Sumatera Utara. ‘’Saya siap menyedekahkan profesi saya untuk kepentingan tersebut,’’ tandasnya.
Koko, peserta lain, curhat karena selama ini belum kesampaian untuk keluar negeri sebagai aktivis kemanusiaan. Ia juga meminta tips untuk menulis yang mampu menggerakkan pembaca untuk berdonasi.
‘’Apakah masih ada masa depan bagi media cetak?’’ gugat Surya, relawan LAZ Ulil Albab Kota Medan.
Fasilitator menjelaskan masih ada walau semakin tergerus media digital berbasis internet. Namun, media cetak kudu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Misal, penampilan harus atraktif, banyak foto yang menarik dan tidak berpanjang-panjang kata.
Diskusi berlanjut hingga nyaris tengah malam. Peserta sepakat untuk membentuk komunitas jurnalistik dakwah dan kemanusiaan Medan. Ahmad Ridho didapuk sebagai koordinatornya.
‘’Kede Wa Jenggot beserta fasilitasnya terbuka untuk markas dan aktivitas komunitas. Silakan dipakai, free, soal ada yang beli makan-minum atau tidak itu rejeki saya,’’ kata Ridho, pemilik kedai, sambil tersenyum. [RN]