Bidadari tak Bersayap
PANJIMAS.COM – Hari ini hari yang cerah bagi seluruh mahasiswi kampus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Mereka semua datang demi tujuan mulia, ingin memajukan Islam dan menyebarkan kebenaran ke seluruh pelosok negeri dan dunia. Kami semua terbang dari kos dan rumah kami dengan sayap yang berbentuk kotak bermerk Eiger dan yang lainnya, yah kami adalah bidadari tak bersayap.
Kami menjalani hari seperti biasanya begitu pula dengan saudari seperjuangan kami dengan nama indahnya Annisa Sholehah. Nama yang sangat cocok dengan kepribadiannya. Wanita lahiran 1993 ini sangat patuh pada agama dan pula rajin menghafal dan mentadabburi Al-Qur’an. Gadis dengan beribu malaikat yang mengelilinginya di setiap waktu tukasku. Sungguh indah menatap wajahnya walau ia tak berparas cantik layaknya para aktris, tapi kelembutan dan kesuciannya tergambar jelas di wajahnya. Wajah yang tertutup kain itu selalu membuat rindu untuk menatap.
Annisa mahasiswi yang sangat di segani, di ayangi oleh teman-temannya dan dicintai oleh seluruh ustadzah karena tutur katanya dan rasa hormatnya. Annisa adalah panutan bagi kami semua.
Seperti biasa aku mengajak Annisa makan di kantin di waktu istirahat tak ada sikap yang berberbeda hari ini dan hari-hari sebelumnya, setelah makan kami berlarian kembali ke kelas karena bel masuk telah berdering. Dan lagi-lagi kami harus mendengarkan nasihat indah dari setiap asatidzah yang masuk kelas, hingga rasanya berat untuk meninggalkan kampus yang amat ku cintai ini dengan beribu mutiaranya.
Bel pulang kuliah telah berbunyi, ku ajak annisa untuk pulang bersama seperti biasanya tapi ia menolak dengan lembut, rupanya ia akan belajar di perpustakaan.
“Wah, memang rajin yah annisa ini,” tukasku dalam hati.
Setelah berpamitan kami berpisah, ku putuskan untuk berbelanja di mall depan kampus yang biasa kami sebut Penvill. Tak terasa aku telah menghabiskan satu setengah jam di dalam mall yang memang membuat lalai. Dengan sedikit tergesa-gesa aku keluar mall, saat aku keluar mall ku lihat jalan telah penuh oleh manusia dan banyak mobil yang terhina termasuk busway berwarna biru.
“Ada gerangan apa ini? seingatku dua atau empat bulan yang lalu memang ada seorang gadis yang menyebrang dan tertabrak, tapi pemerintah pasti sudah mengambil tindakan,” kuatku dalam hati, tapi rasa penasaran terus memaksaku pergi ke TKP, ku putuskan menyeberang dan melihat apa yang terjadi.
Kulihat seorang gadis berbaju hitam lengkap dengan kerudung dan cadarnya tergeletak di tanah dan darah telah menggenang di sekililingnya. Ku coba memperhatikan lebih detail, ku rasa aku sangat mengenal baju dan postur tubuh ini, ku coba pinta pada polisi yang telah berjaga di TKP untuk memastikan apakah dia adalah temanku, setelah lama aku bernegosiasi dengan polisi, polisi mengizinkan aku melihatnya .
“Astagfirullah!!“ aku menjerit ketakutan dan mundur selangkah, kemudian aku dikuatkan oleh satpam wanita yang bekerja di kampus, aku setengah tak percaya Annisa yang tadi pagi masih sehat segar bugar. Tidak, bukan tadi pagi! tapi berapa jam yang lalu. Aku terus mengangis tak terhentikan terbayang bagaimana kami selalu menghabiskan waktu bersama dan tertawa dalam kebahagiaan dan mengangis saat merasa berdosa.
Annisa yang sangat aku banggakan, kini sosoknya akan menghilang dari hadapanku selamanya, kemudian ibu saptam mengatakan padaku kalau Annisa masih dapat kesempatan untuk hidup, tak lama datang ambulance dan aku mewakili masuk dan mendapat kesempatan menjaga Annisa di rumah sakit. Setelah pengobatan dan pengecekan CT scan, kemungkinan Annisa akan lumpuh seumur hidup karena ada bagian otaknya yang terbentur keras dan rusak dan juga tulangnya patah. Setelah mendengar penjelesan ibu saptam aku baru tahu ternyata kejadiannya baru beberapa menit aku keluar dari mall.
Singkatnya Annisa ingin menyebrang tanpa disadari ada busway yang melaju cepat ke arahnya dan ia tidak cepat bertindak dan nahasnya tubuh mungilnya itu terseret busway setelah ditabrak. Mungkin ia terseret tidak jauh, tapi, luka dari tabrakan tadi sangatlah parah.
Kini Annisa koma di kamar inap bersamaku dan beberapa orang lainnya, buru-buru ku kirim pesan pada teman-temanku untuk menjenguknya melalui WhatsApp, sejam berlalu setelah sebagian temanku berkunjung, salama menunggu teman-teman, ku putuskan memurojaah hafalnku dan juga niat agar Annisa bangun atau sedikitnya mengikuti di bawah alam sadarnya.
Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 03.00 WIB sore dan telah memasuki waktu Ashar, teman-teman dan ustadzah banyak yang datang berkunjung. Tepat jam 03.45 WIB Annisa sesak nafas kemudian ustadzah mentalqinkannya tepat di telinganya perlahan annisa bergerak-gerak dan seraya lidahnya mengikuti talqin, tak lama ku lihat mata Annisa melihat lurus ke atas kemudian tersenyum lebar seraya menyambut sesuatu, dan annisa pergi meninggalkan kita semua.
Semua yang datang menangis disusul orang tuanya yang baru saja tiba dari rumahnya yang jaraknya cukup jauh dari Jakarta. Kemudian ustadzah menutup matanya dan mendo’akan, lalu kami melaksanakan shalat ghaib dan ustdzah sedikit memberikan nasihat pada kami semua.
Kejadian yang sangat cepat berlalu ini sangat membekas pada setiap mahasiswi LIPIA khususnya. Banyak kejadian yang telah terjadi di jalan ini, jalan yang biasa di gunakan para bidadari untuk terbang ke majlis ilmu, dengan sayapnya yang tidak nyata. Kami melewati jalan ini dan banyak pula bidadari yang terluka di jalan besar ini. Padahal, kampus telah mengajukkan JPO (jembatan penyebrangan orang) tapi selalu di tolak oleh bagian tata ruang. Kami mohon untuk segara di adakan JPO. Banyak korban atas kelalaian ini. Berapa banyak lagi kita harus kehilangan bidadari tak bersayap?.
Kisah ini saya persembahkan untuk saudari saya Annisa Sholehah semoga Allah menerima segala kebaikanmu dan engkau termasuk orang yang Allah ridhoi untuk memilih surga mana yang akan engkau masuki dan semoga kita berkumpul lagi di surgaNya.
Best regards: Lubna Yusuf Utsman Ba’isa. [AW]