Oleh : Risma A.
Pengesahan revisi undang-undang TNI yang dilakukan secara tergesa-gesa telah memicu reaksi keras dari masyarakat. Mahasiswa dan elemen masyarakat sipil melakukan demonstrasi penolakan RUU TNI di berbagai kota di Indonesia pada tanggal 20 Maret. Masyarakat merasa cemas bahwa undang-undang TNI akan menjadi landasan hukum untuk mengaktifkan kembali dwifungsi militer melalui ekspansi operasi dan penempatan personil militer di lembaga sipil (cnnindonesia.com – 21/03/2025).
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, menyatakan bahwa jika revisi undang-undang TNI tidak dibatalkan, maka masa depan demokrasi akan menjadi gelap dan berpotensi meningkatkan intensitas pelanggaran berat HAM di masa yang akan datang. Arif berpendapat bahwa usulan revisi undang-undang TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang seharusnya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sesuai dengan amanat konstitusi dan demokrasi (cnnindonesia.com – 17/03/2025).
Situasi menjadi semakin tegang karena penguasa mengeluarkan kebijakan yang mengkhawatirkan rakyat. Fakta pengesahan undang-undang TNI yang dilakukan secara terburu-buru seharusnya membuat rakyat menyadari bahwa sistem politik yang digunakan untuk mengurus rakyat di negara ini memiliki kelemahan yang sangat mendasar. Secara fundamental, sistem demokrasi yang diklaim sebagai sistem yang berasal dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, dianggap sebagai sistem terbaik untuk mengurus rakyat. Namun, dalam praktiknya, semua itu hanya omong kosong dan bahkan prinsip tersebut tidak pernah terwujud. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena demokrasi berdiri di atas prinsip yang salah, yaitu menyerahkan kedaulatan hukum kepada manusia. Manusia memiliki kekuasaan untuk membuat, merevisi, bahkan menghapus aturan yang telah disepakati, sehingga kepentingan pribadi dan kelompok dapat diprioritaskan daripada kepentingan rakyat.
Penguasa dalam sistem demokrasi tidak menjalankan tanggung jawab kepemimpinan sebagaimana mestinya. Karena, penguasa terpilih adalah wakil dari partai politik dan pemilik modal yang telah mendukungnya, sehingga kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada kepentingan mereka daripada kepentingan rakyat. Jadi, tidak mengherankan jika rakyat terus mengalami kekhawatiran karena penguasa demokrasi tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Bahkan, kebijakan yang diambil dapat memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga rakyat semakin terpuruk dan kehilangan harapan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi rakyat untuk menyadari bahwa sistem demokrasi yang ada saat ini memiliki kelemahan yang sangat mendasar. Rakyat harus berani untuk mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh penguasa dan menuntut perubahan yang lebih baik. Hanya dengan cara itu, rakyat dapat memiliki harapan untuk masa depan yang lebih cerah dan sejahtera.
Sangat berbeda dengan pemerintahan yang menjalankan sistem Islam, yang menekankan pentingnya melindungi dan mengayomi masyarakat. Islam memerintahkan agar negara wajib menjadi pihak yang melindungi, mengayomi, dan tidak menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW,
“Seorang pemimpin atau kepala negara adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa di antara kewajiban terpenting seorang pemimpin atau kepala negara adalah mengangkat para pejabat yang bertugas mengurus urusan rakyat dan menjaga hak-hak mereka. Dengan demikian, sangat jelas kewajiban negara adalah melindungi dan mengayomi masyarakat berdasarkan prinsip Islam yang menekankan pentingnya menjaga hak, keamanan, dan ketentraman masyarakat.
Semua ini merupakan bagian integral dari tugas Pemerintahan Islam Daulah Islamiyah, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan keamanan bagi seluruh rakyat. Bahkan, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama sekaligus mujtahid besar abad ini, menjelaskan dalam kitab beliau Syakhshiyyah Islamiyah bahwa di antara sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh seorang penguasa adalah menjadi pemberi kabar gembira dan tidak menimbulkan antipati dari masyarakat. Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata : dulu, jika Rasulullah SAW mengutus salah seorang dari sahabat mengenai suatu urusan, beliau berkata,
“Berilah kabar gembira dan janganlah menimbulkan antipati. Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Imam Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat yang baik dan tidak membuat rakyat khawatir atas kebijakannya.
Adapun Muslim meriwayatkan dari Ma’qil bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada seorang pemimpin pun yang memerintah kaum Muslim lalu tidak bersungguh-sungguh dan tidak tulus menasehati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka.”
Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus amanah dan tidak bersikap semena-mena, sehingga tidak membuat rakyat khawatir atas kebijakannya. Dengan demikian, sangat jelas bahwa sistem Islam memiliki prinsip-prinsip yang kuat untuk mewujudkan keadilan dan keamanan bagi seluruh rakyat.
Dalam sistem Islam, terdapat mekanisme yang memastikan bahwa penguasa hanya menjalankan hukum syariat saja, tanpa ada campur tangan dari kepentingan pribadi atau kelompok. Kedaulatan pembuat hukum ada di tangan syara’, bukan manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran,
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ : 65)
Dan Rasulullah SAW juga bersabda,
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menjadikan keinginannya selaras dengan ajaran yang aku bawa.” (HR. Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak ‘ala Shahihain)
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim harus menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidupnya, termasuk dalam urusan pemerintahan.
Dalam sistem Islam, penguasa, yakni khalifah, hanya menjalankan hukum Allah. Dia dibaiat oleh rakyat untuk menjalankan amanah ini, yaitu mengatur urusan rakyat dengan syariat. Seorang khalifah dibolehkan melakukan tabanni (adopsi) hukum untuk menghilangkan perbedaan di tengah masyarakat, namun tetap harus berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah.
Ketaatan khalifah kepada hukum syara’ akan menjadikan masyarakat hidup tentram, jauh dari kekhawatiran. Hal ini karena mengatur urusan rakyat dengan syariat, bukan dengan hawa nafsu atau kepentingan pribadi. Dengan demikian, keadilan dan keamanan dapat terwujud dalam masyarakat, sebagaimana Allah SWT berjanji akan memberikan keberkahan dari langit dan bumi jika penguasa dan rakyat beriman dan bertakwa,
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan membuka bagi mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. Araf : 96)