JAKARTA, Panjimas – Umat Islam Indonesia kembali bersedih atas kehilangan salah satu ulama dan pejuang Islam yang menegakkan Amar Ma’aruf Nahi Munkar serta menjadi tokoh nasional di bidang Pergerakan Islam telah berpulang ke Rahmatullah. Beliau adalah KH Abdul Qodir Djaelani.
Almarhum meninggal dunia pada hari Selasa, 23 Februari 2021/ 11 Rajab 1442 H pada pukul 10 pagi di Jakarta. Berikut profil pejuang dan tokoh pergerakan Islam ini yang diambil kisah perjalanan hidupnya dari situs : islamic center bekasi.or.id
Ideologi itu melekat ke darah dan daging. Sering kali kisah kisah heroik muncul karena pembelaan orang terhadap ideologi atau keyakinannya. Lihatlah Abdul Qadir Djaelani, di usianya yang sudah 80 tahun semangat perjuangan ideologinya masih membara. Matanya masih membelalak, suaranya meninggi, dan gerakan tangannya masih memberi simbol simbol perlawanan manakala berbicara rezim Soekarno atau tentang Komunisme. Tapi tak bisa dipungkiri “orang sel” ini memang mulai termakan usia.
Akhir pekan kemarin (20/6/2015) saya bersilaturrahmi ke rumah Abdul Qadir Djaelani di Jl Leuwiliang no 106, Bogor. Dalam suasana yang ramah, kami diterima oleh Kang Jel, (panggilan Abdul Qadir Djaelani) dan isterinya Bunda Hj Lilis Badriyah. Kang Jel memang sudah terlihat mulai menurut fisiknya. Pendengarannya sedikit menurun. Langkahnya juga sudah mulai lamban. Tapi semangatnya masih tetap berapi-api. Apalagi kalau diajak berbicara tentang ideologi Islam, Soekarno, PII, dan perjuangannya menegakkan akidah Islam.
Resminya, ia tiga kali dijebloskan ke dalam sel.Tapi Kang Jel juga seringkali menjadi langganan tangan-tangan kekuasaan yang menahan dan memeriksanya. Selalu saja ada alasan menahan Kang Jel tanpa surat perintah penahanan dan sebagainya, bisa jadi karena ceramahnya, tulisannya atau pikiran pikirannya dan aksi-aksi demo.
Dalam tiga kali penahanan, Abdul Qadir Djaelani menghabiskan sepertiga usianya kini. Total, ia 23 tahun mendekam di dalam penjara. Ia pernah disiksa sampai melebihi batas kemanusiaan. Ia dimasukkan ke dalam drum berisi air kemudian dialiri listrik. Kemaluan pernah distroom. Namun sebagai pembela ideologi dan keyakinannya terhadap akidah Islam, Abdul Qadir Djaelani tetap tidak berhenti. Ia terus menyuarakan perlawanan atas upaya pemerintah yang bertentangan dengan keyakinan Islam.
Tahun 1961, untuk pertama kali Kang Jel masuk tahanan penjara orde lama. Saat itu Kang Jel sebagai Ketua Wilayah PII Jakarta yang mengeluarkan surat pernyataan menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) di seluruh Indonesia.
Pertama Masuk Sel
Yang menangkanya Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya yang dipimpin oleh Kapten Dahyar dan ditahan di rumah tahanan militer RINDAM Condet Jakarta Timur bersama para tahanan PRRI dan Permesta. Setelah enam bulan saya dibebaskan, tanpa melalui proses pengadilan
Akhir tahun 1963, kembali ditangkap lagi. Kali ini oleh Badan Pusat Intelijen yang dipimpin Brig. Jend. Pol. Sutarto. Saat itu PB PII menggelar Konferensi Besar PII di Bandung dan mengeluarkan satu ikrar untuk menentang rezim Soekarno dan PKI sampai tumbang. Kelak pada penahanan yang berikut Sutarto masuk sebagai tahanan bersama Kang Jel. Sutarto ditahan karena terlibat Gerakan PKI.
Selain bersama beberapa pengurus PII, Kang Jel juga ditahan bersama para ulama. Di antaranya, Buya Hamka, KH Dalari Oemar, KH Ghazali Sahlan, Kolonel Nasuchi, Abdul Mu’thie, H Zamawi. “Saat itu kami dikumpulkan di Sekolah Perwira Kepolisian Gunung Puyuh Sukabumi.
“Ada juga tahanan yang ditelanjangi dan kemaluannya disetrum. Setelah 5 hari 5 malam, saya sudah pingsan karena diperiksa terus seperti itu,” katanya sambil tertawa.
Penahanannya kala itu dengan tuduhan mengadakan rapat gelap di rumah mantan tokoh Masyumi Tangerang yang dihadiri oleh Buya Hamka, KH Dalari Oemar, KH Ghazali Sahlan, Kolonel Nasuchi, Abdul Mu’thie, H. Zamawi dan empat orang tokoh Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berencana menggagalkan Pesta Olah Raga Ganefo di Jakarta. Tuduhan itu dibantahnya karena tidak pernah ada rapat semacam itu.
Selama masa tahanan Kang Jel dan para ulama lainnya yang ditahan hanya dibolehkan membaca Quran. Empat bulan pertama tak boleh dijenguk keluarga. Setelah genap setahun saya dipindahkan ke tahanan Mabes Kepolisian di Kebayoran baru Jakarta. Di sinilah Kang Jel bertemu dengan para tahanan PRRI Permesta, tokoh Masyumi, GPII seperti Mawardi Noer, KH Hamidullah dan Djanamar Ajam.
Di tempat inilah Kang Jel baru bisa berdiskusi dan belajar, baik masalah-masalah politik, militer, maupun Islam. Akhir November 1965, ia dibebaskan setelah kegagalan kudeta yang dilakukan oleh PKI.Setelah itu saya masih tetap menjalani beberapa kali penahanan karena isi pidato dan khutbah-khutbah saya dianggap membahayakan Orde Baru. Pemeriksanaan dan Penyiksaan berjal;an lebih keras.
Tanggal 16 Desember 1985, Kang Jel divonis penjara lagi selama 18 tahun. Karena menurut Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ceramah, tulisan, dan pandangannya tentang ideologi negara (Pancasila), politik, ekonomi dan kebejatan moral bangsa yang dianggap mengancam.
Selama menjadi narapidana politik inilah Kang Jel banyak menulis. Secara ketat ia mencoba mengatur jadwal harian kegiatannya. “Jika tidak memanfaatkan waktu untuk menulis maka saya tidak akan mendapatkan manfaat dari kehidupan penjara berpuluh tahun di LP Cipinang tersebut,” katanya simpel.
Untuk kepentingan membaca dan menulis, saya diizinkan memasukkan buku-buku. Tak kurang 500 judul buku tersusun di perpustakaan saya. Buku-buku ini datang silih berganti, tergantung topik yang saya tulis. Setiap harinya dari jam 08.00 sampai 12.00 saya khususkan waktu untuk membaca dan menulis. Dan, puku 16.00 sampai 18.00 untuk tadarusan Al-Qur`an.
Di masa reformasi, kang Jel pun masuk ke dalam sistem. Ia memelopori pendirian Partai Bulan Bintang. Ia pun terpilih menjadi wakil rakyat di Senayan. Namun, seperti dikatakannya, semangat membela Islam dan memperjuangkan amar maruf nahi munkar tak akan pupus meski sudah duduk di Senayan.
Lagi lagi karena keyakinannya itu, Kang Jel pun berselisih dengan pimpinan partainya. “Saya dipecat oleh Yusril,” katanya tanpa beban.
Kini, ia masih tetap membaca dan menulis. Beberapa buku kecil diterbitkannya. Kang Jel pun menunjukkan dua buku yang tebal yang dalam proses
Pendekatan kepada penerbit. “Saya tak perlu dibayar dengan duit, tapi berikan saja beberapa bukunya ke saya,” gampang kan.
Kini sudah sekitar 58 judul buku telah diterbitkannya. Sesekali ia diundang ceramah, namun sebelum menerima undangan itu Kang Jel selalu memberi syarat untuk bicara ini dan ini. Kalau mau silahkan, kalau takut ya jangan.