Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, ulama sepakat bahwa i’tikaf bagi laki-laki harus dilakukan di masjid.
Allah telah memberikan aturan bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid dalam firman-Nya,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
”Janganlah kalian menggauli istri kalian ketika kalian sedang i’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini merupakan dalil, syarat sah i’tikaf harus dilakukan di masjid. (Baca: I’tikaf di Bulan Ramadhan Sesuai Tuntunan Rasulullah)
Al-Qurthubi mengatakan,
أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون إلا في مسجد
Ulama sepakat bahwa i’tikaf hanya boleh dilakukan di dalam masjid. (Tafsir al-Qurthubi, 2/333).
Keterangan yang sama juga disampaikan Ibnu Rusyd,
وأجمع الكل على أن من شرط الاعتكاف المسجد ، إلا ما ذهب إليه ابن لبابة من أنه يصح في غير مسجد
Semua ulama sepakat bahwa diantara syarat i’tikaf harus dilakukan di masjid, kecuali pendapat Ibnu Lubabah yang mengatakan, boleh i’tikaf di selain masjid. (Bidayah al-Mujtahid, hlm. 261)
Kedua, meluruskan istilah masjid dan mushalla
Secara bahasa, masjid [arab: مسجد] diambil dari kata sajada [arab: سجد], yang artinya bersujud. Disebut masjid, karena dia menjadi tempat untuk bersujud. Kemudian makna ini meluas, sehingga masjid diartikan sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk melaksanakan shalat.
Imam Az-Zarkasyi mengatakan,
ولَمّا كان السجود أشرف أفعال الصلاة، لقرب العبد من ربه، اشتق اسم المكان منه فقيل: مسجد، ولم يقولوا: مركع
”Mengingat sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya (ketika sujud), maka nama tempat shalat diturunkan dari kata ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’ (tempat rukuk). (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).
Kemudian Imam az-Zarkasyi, beliau menyebutkan makna masjid menurut istilah yang dipahami kaum muslimin (urf),
ثم إن العُرف خصص المسجد بالمكان المهيّأ للصلوات الخمس، حتى يخرج المُصلّى المجتمع فيه للأعياد ونحوها، فلا يُعطى حكمه
Kemudian, masyarakat muslim memahami bahwa kata masjid hanya khusus untuk tempat yang disiapkan untuk shalat 5 waktu. Sehingga tanah lapang tempat berkumpul untuk shalat id atau semacamnya, tidak dihukumi sebagai masjid. (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).
Berdasarkan keterangan di atas, secara istilah syariah, mushalla termasuk masjid. Karena mushalla merupakan tempat yang disediakan khusus untuk shalat jamaah.
Untuk itu, sebagai catatan, bahwa kata masjid dalam istilah fikih ada dua,
- Masjid jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu dan shalat jumat
- Masjid ghairu Jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu saja, dan tidak digunakan untuk jumatan.
Masjid jenis kedua ini, di tempat kita disebut mushalla.
Ketiga, batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf.
Ibnu Rusyd menyebutkan, ada 3 pendapat ulama tentang batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf.
- I’tikaf hanya bisa dilakukan di 3 masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini merupakan pendapat sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dan seorang tabiin Said bin al-Musayib. Dan ini pendapat yang lemah. Karena tidak ada batasan bahwa i’tikaf harus di 3 masjid tersebut.
- I’tikaf hanya bisa dilakukan di masjid jami’, masjid yang digunakan untuk jumatan.
- I’tikaf bisa dilakukan di semua masjid, baik jami’ maupun bukan jami’. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, diantaranya as-Syafii, Abu Hanifah, at-Tsauri, dan pendapat masyhur dari Imam Malik. (Bidayah al-Mujtahid, hlm. 261).
Insya Allah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa tempat yang bisa digunakan untuk i’tikaf tidak harus masjid jami’, namun bisa semua masjid, meskipun tidak digunakan untuk jumatan.
Karena Allah hanya menyebutkan yang bersifat umum, ”ketika kalian sedang i’tikaf di masjid.” tanpa ada batasan, baik masjid jami’ maupun yang bukan jami’. Sehingga i’tikaf di mushalla hukumnya boleh dan sah.
Allahu a’lam. [AW/Konsultasi Syariah]