JAKARTA (Panjimas.com) – Keluarga Ir Imam Bahri mendatangi gedung DPR RI Senayan dengan didampingi oleh Tim Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) guna bertemu dengan Ketua Pansus UU Terorisme yang juga anggota DPR dari Partai Gerindra, Raden Muhammad Syafii, pada hari Selasa (5/6/2018).
Kedatangan keluarga korban beserta Tim Pushami pada pukul 11.00 siang itu adalah terkait penangkapan Imam Bahri.
Seperti yang sudah diketahui, bahwa Imam Bahri (IB) adalah seorang Ketua RT dan DKM Masjid asal Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo Jatim. Ia ditangkap Densus 88 hingga kini tak diketahui bagaimana nasibnya.
Menurut Aziz Yanuar dari Tim Pushami mengatakan bahwa Pushami diterima oleh Romo Syafii di ruang kerjanya, yakni di ruang 2112 fraksi Gerinda DPR RI.
“Pushami membawa dua klien. Yakni istri dari pak Imam Bahri sendiri yang ditangkap Densus 88 pada 29 mei 2018 lalu di Surabaya yang berinisial ST dan juga Ridho, kordinator yang dituduh diduga akan menyerang mako brimob menurut beberapa berita di media massa, tergabung dalam kelompok Tasik,” ujar Aziz kepada Panjimas (5/6).
Romo Syafii kemudian menghubungi Kepala BNPT Suhardi Alius dan menceritakan Kronologi singkat dari versi para klien dan dari Pushami sendiri yang juga menyampaikan informasi yang ada.
“Kemudian Kepala BNPT mengirim Direktur Penindakan, Brigjen Thoriq yang didampingi Kasubditnya bernama Kombes Alex dan satu staffnya,” kata Aziz.
Pushami dalam pertemuan itu dibantu untuk difasilitasi oleh Romo Syafii untuk menyampaikan bahwa tidak adanya surat penahanan dan penggeledahan dan meminta proses advokasi untuk tidak dihalangi atau dipersulit pasca 7×24 jam serta tidak ada pemeriksaan model “guantanamo” yang berisi kekerasan dan intimidasi fisik yang diterima.
Kemudian Brigjen Thoriq menyampaikan bahwa IB masih ada ditahanan Polda Jatim, beliau sendiri akan mengecek laporan dari Pushami ke Densus 88 Jatim dan menerima kronologi versi keluarga serta Pushami. Dalam pertemuan itu dari Pushami dan Kepala Penindakan BNPT sempat berdiskusi terkait beberapa tindakan represif Densus 88 yang lalu.
“Serta untuk tidak lagi terjadi ke depannya serta sepakat berkoordinasi untuk dua kasus ini dan mengedepankan praduga tak bersalah serta ke depannya akan saling koordinasi jika ada masalah dalam penanganan terkait pemberantasan terorisme ini,” pungkasnya. [AW/Edy]