IDLIB, (Panjimas.com) — Pasukan rezim Assad dan milisi yang didukung Iran beberapa kali melanggar perjanjian gencatan senjata Sochi bulan lalu dengan menyerang posisi pasukan oposisi di zona de-eskalasi Idlib dan menyebabkan tewasnya puluhan warga sipil.
Menurut badan pertahanan sipil, White Helmets, pasukan rezim Assad dan sekutunya menyerang daerah perumahan di zona de-eskalasi, di mana tindakan agresi secara tegas dilarang.
September lalu, di kota Sochi, Rusia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin setuju untuk mendirikan zona de-eskalasi Idlib.
Bulan berikutnya, semua senjata berat ditarik dari zona de-eskalasi oleh oposisi Suriah dan kelompok-kelompok anti-rezim.
Namun demikian, menurut White Helmets, setidaknya 30 orang tewas di Idlib pada Januari, termasuk wanita dan anak-anak, sementara 180 lainnya terluka di Idlib, Hama dan Latakia akibat serangan pesawat tak berawak dan tembakan artileri oleh rezim, dikutip dari AA.
Bulan lalu, rezim Assad juga menargetkan desa di tenggara Idlib, bersama dengan bagian pedesaan Provinsi Aleppo, Latakia, dan Hama.
Mohamed Hallaj, Direktur Koordinator Intervensi di Suriah, mengatakan bahwa ribuan keluarga telah melarikan diri ke daerah-daerah dekat perbatasan Turki sebagai akibat dari kekerasan yang sedang berlangsung.
“Pada November dan Desember tahun lalu, lebih dari 16.000 keluarga terpaksa mengungsi dari rumah mereka di Idlib tenggara dan Hama utara,” ujar Hallaj.
Gencatan Senjata
Turki, Rusia, Prancis, dan Jerman baru-baru ini menyerukan gencatan senjata abadi mengacu pada perang sipil di Idlib, Suriah. Seruan gencatan senjata ini merupakan buah dari KTT Suriah yang diselenggarakan di Istanbul, Turki, Sabtu (27/10/2018) lalu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, bersama dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Angela Merkel berupaya menemukan solusi jangka panjang terkait konflik Suriah.
Emmanuel Macron mendesak Rusia, yang mendukung pemerintahan Bashar al-Assad, untuk melakukan tekanan terhadap Damaskus untuk mendorong gencatan senjata berkelanjutan dan abadi di Idlib.
Bulan September lalu, Turki yang mendukung kubu oposisi, bersepakat dengan Rusia untuk membuat zona penyangga di sekitar Idlib. Rencana itu dibuat di tengah kekhawatiran akan terjadinya serangan yang berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan di Idlib.
Eskalasi konflik terus terjadi di Idlib sejak saat itu. Pada Jumat (26/10), tujuh warga sipil tewas akibat serangan artileri rezim Assad. Ini merupakan jumlah kematian tertinggi sejak gencatan senjata dilakukan.
Turki, Rusia, Prancis, dan Jerman dalam pernyataan bersamanya menyerukan pembentukan komite untuk menyusun konstitusi baru di Suriah. Komite tersebut diharapkan dapat terbentuk sebelum akhir tahun untuk membuka jalan bagi pemilihan umum yang bebas dan adil di negara itu, dilansir dari The Guardian.
“Harus dipastikan agar organisasi kemanusiaan mendapat akses masuk ke seluruh wilayah Suriah dengan cepat, aman, dan tanpa hambatan, serta bantuan kemanusiaan dapat segera menjangkau semua orang yang membutuhkan,” tulis pernyataan tersebut.
Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa Suriah harus menciptakan kondisi yang aman di seluruh negeri agar para pengungsi bisa kembali secara aman dan sukarela.
Idlib
Idlib sebagaimana diketahui kini merupakan wilayah yang dikendalikan oleh kelompok-kelompok bersenjata anti-rezim Assad, Idlib telah mengalami serangan udara hebat selama dua bulan terakhir, yang menyebabkan ratusan kematian dan korban luka, menurut sumber pertahanan sipil.
Wilayah Idlib berada dalam jaringan zona de-eskalasi yang disokong oleh Turki, Rusia, dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang secara eksplisit.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Idlib, yang terletak di Suriah bagian Barat Laut di perbatasan Turki, menghadapi serangan hebat yang dilancarkan rezim Assad setelah perang berkecamuk yang dimulai pada tahun 2011.
Sejak Maret 2015, Idlib tidak lagi berada di bawah kendali rezim Assad dan didominasi oleh kelompok oposisi militer dan organisasi bersenjata anti-rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa.[IZ]