(Panjimas.com) – Akhir Maret 2018, pemerintah kembali menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite. Kenaikan itu sebesar Rp200 per liter dan berlaku di seluruh pengisian bahan bakar umum (SPBU) di seluruh Indonesia.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito mengatakan, penyesuaian harga BBM jenis pertalite merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang terus naik (US$ 65 per barel). Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). (Sulselsatu.com, 25/3/2018).
Masih dalam sumber yang sama, Direktur Pemasaran Pertamina M Iskandar mengatakan, akibat naiknya harga minyak dunia ini, kerugian biaya yang diderita Pertamina sampai Februari 2018 sebesar Rp 3,9 triliun.
Sementara itu, saat ini kita semua melihat betapa sulitnya kehidupan masyarakat di tengah melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan kesehatan. Sementara Lapangan kerja semakin sempit dan kesempatan berusaha semakin sulit. Realitas ini menggambarkan, sebelum harga BBM naik daya beli masyarakat sudah menurun. Bahkan banyak kita saksikan di media, kasus bapak atau ibu bunuh diri dan juga membunuh anak-anaknya akibat beratnya himpitan ekonomi. Jelas, kebijakan kenaikan pertalite, membuat rakyat kian menjerit.
Kalau mau jujur, subsidi yang sedang digaung – gaungkan pemerintah di sini adalah kesenjangan antara harga pasar di Indonesia dengan harga yang ditentukan NYMEX (New York Merchantile Exchange). Jadi, sebetulnya dengan harga pasar saja pemerintah telah memperoleh laba besar. Tetapi, dengan menaikkan harga BBM—yang diperhalus dengan istilah “pengurangan subsidi BBM”—pemerintah ingin memperoleh laba yang lebih besar. Apalagi, kalau nantinya disamakan persis dengan harga NYMEX. Ini yang sebenarnya disebut subsidi. Kenapa mesti memakai harga NYMEX, supaya perusahaan asing di sektor hilir (SPBU) memperoleh untung besar, sehingga akan menarik lebih banyak lagi investor asing di sektor ini.
Di balik kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, maka para kapitalis seperti Exxon Mobil, Chevron, ConocoPhilips, BP, CNOOC, akan “berpesta pora”. Para perusahaan kapitalis, khususnya yang berasal dari AS yang menguasai 90% produksi minyak Indonesia, akan menikmati kenaikan harga BBM sebab mereka dapat menjual minyak mentah rakyat Indonesia kepada pemerintah Indonesia dengan harga “New York”, bukan harga lokal. Dan tentu saja pemerintahan dengan birokrat yang korup akan turut pula menikmati keuntungan perusahaan-perusahaan kapitalis Barat.
Inilah akar masalah BBM Indonesia, yakni penguasaan ladang-ladang migas Indonesia oleh para kapitalis. Pemerintah tidak pernah melihat akar masalah atau mungkin saja menyembunyikan kesalahan sistem Kapitalisme migas ini. Bahkan dalam kerangka UU Migas tahun 2001 pemerintah berupaya keras mengudang para Kapitalis untuk mengeksploitasi perut bumi Indonesia dengan alasan produksi minyak Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun.
Sementara itu, Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur tentang kepemilikan sumber daya alam. MenuruI islam, sumber daya alam termasuk BBM adalah milik masyarakat. Tidak boleh dimiliki negara apalagi swasta. Adapun negara, dia hanya mengelola dan berhak mengambil biaya operasional dari laba. Sementara hasilnya, semua dikembalikan kepada rakyat secara keseluruhanya. Sehingga masyarakat sangat mungkin menikmati BBM dengan sangat murah, bahkan tanpa harus keluar biaya.
Sebagai ibu rumah tangga, tentu kondisi ini akan semakin menyulitkan. Kalau para ibu disuruh kreatif, sungguh selama ini para ibu telah berusaha mengatur keuangan dengan sebaiknya – baiknya. Jika para ibu diminta untuk ikut mencari tambahan penghasilan, sungguh tidak sedikit para ibu berkorban dengan mengadu nasib di dunia luar. Maka akan menjadi penting untuk melihat akar masalah BBM ini di Indonesia. Janganlah rakyat yang terus harus menanggung derita. Dan bagi rakyat Indonesia, para ibu khusunya, masihkah kita nyaman dengan sistem demokrasi ini? Belum saaatnyakah kita menelaah lebih dalam tentang sistem Islam, demi kemaslahatan dalam kehidupan. Wallahu a’lam. [RN]
Penulis, Ririn Umi Hanif,
Tinggal di Gresik