YOGYAKARTA, (Panjimas.com) – Diskusi bulanan IIS (Institut of International Study), sebuah forum diskusi jurusan Hubungan Internasional Fisip UGM, pada Jum’at (11/12/2015) mengangkat tema “Atas Nama Agama? Sebuah Tinjauan Atas Kekerasan di Singkil dan Tolikara”.
Diskusi yang dihadiri 52 peserta ini menghadirkan narasumber Elga Saparung, Direktur DIAN/Interfriday, sebuah lembaga yang aktif membahas isu-isu lintas agama. Sebagai penanggap adalah dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisip UGM, Samsu Rizal Pangabean, yang juga peneliti PSKP (Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian). Diskusi yang dijadwalkan pukul 14.00-16.00 WIB molor karena banyaknya tanggapan dan pertanyaan dari peserta.
Elga yang mengaku melakukan investigasi langsung hanya di Tolikara, sedang untuk Singkil ia hanya mendapat informasi dari rekan komunitas di Sumut, menjelaskan kronologi peristiwa di kedua tempat. Menurutnya ada perbedaan pada keduanya. Di Tolikara, pembakaran mushala bukanlah kesengajaan. Sebenarnya yang dibakar adalah kios-kios milik muslim pendatang, lalu merembet ke mushala. Dia menyimpulkan, orang Papua tidak akan membakar rumah ibadah karena adanya keyakinan jika melakukannya akan kuwalat.
Berbeda dengan di Singkil, pembakaran gereja yang bermasalah itu dilakukan dengan sengaja. Umat Islam terprovokasi oleh berita di media sosial yang mengatakan bahwa Kristen sudah merasa kuat dan berencana menyerang umat Islam. Lalu beberapa orang melakukan pembakaran yang dimobilisasi oleh FPI.
Terkait GIDI, Elga mengatakan bahwa kelompok itu mengklaim Tolikara adalah wilayahnya. Mereka beralasan karena misionaris pertama di daerah itu adalah dari kelompok mereka. GIDI juga pernah berkonflik dengan Kristen Advent. Penyebabnya ada jemaatnya yang pindah ke Advent dan berniat mendirikan gereja di Tolikara. Sejak itu Advent dilarang beraktivitas di Tolikara. Gereja lain pun, oleh GIDI dilarang berdiri di sana. Jemaat gereja lain jika berada di Tolikara harus beribadah di Gereja GIDI.
Menanggapi hal ini, Rizal mengatakan bahwa masalahnya adalah solidaritas yang destruktif. Di antara penyebabnya adalah kurangnya komunikasi antar agama. Masalah rumah ibadah sebenarnya merupakan persoalan bersama yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Menurutnya bila semua pihak masih berjalan sendiri-sendiri, maka wajar peristiwa seperti itu terjadi.
Elga sendiri cenderung lebih mengkritisi pemerintah. Dia meragukan keseriusan pemerintah dalam melakukan rekonsiliasi. Menurutnya sangat tidak cukup rekonsiliasi hanya ditampakkan dengan tayangan televisi dan foto-foto berjabat tangan serta pembangunan kembali infrastruktur yang rusak.
Sedang Rizal sebagai penanggap, menggarisbawahi perihal toleransi. Ada dua dimensi toleransi yang menurutnya harus dipenuhi, yakni dimensi perilaku dan kelembagaan. mengenai dimensi perilaku, dalam psikologi sosial, wujud toleransi adalah bergaul. Adanya jarak antar kedua agama menyebabkan terjadinya intoleransi. Dan dalam dimensi kelembagaan, Rizal melihat pemerintah maupun LSM saat ini belum menjalankan fungsinya dengan toleran. [IB]