JAKARTA, (Panjimas.com) – Krisis pengungsi Rohingya pada tahun 2015 mengacu pada data migrasi massal ribuan orang Rohingya dari Myanmar (juga dikenal sebagai Burma) dan Bangladesh pada tahun 2015, yang secara kolektif disebut “orang perahu” oleh media internasional. Hampir semua yang melarikan diri pergi ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Malaysia, Indonesia dan Thailand dengan perahu yang reyot melalui perairan Selat Malaka dan Laut Andaman.
Komisaris Tinggi untuk Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa 25.000 orang telah dibawa ke kapal dari Januari sampai Maret 2015 oleh pedagang manusia. Ada klaim bahwa, dalam perjalanan mereka, sekitar 100 orang meninggal di Indonesia, 200 di Malaysia, dan 10 di Thailand, setelah pedagang tersebut meninggalkan mereka di laut.
Pada bulan Oktober 2015, peneliti dari Inisiatif Kejahatan Kejahatan Internasional di Queen Mary University of London merilis sebuah laporan yang berisi dokumen pemerintah yang bocor yang mengungkapkan adanya “ghettoisasi, pembantaian sporadis, dan pembatasan gerakan” Lebih miris lagi sekarang ini Pemerintah Myanmar membiarkan para Vandita BUDHA salah satu pemimpinnya adalah WIRATHU untuk melakukan Pemerkosaan, Pembakaran, penyembelihan serta penyiksaan lainnya yang terus menerus dilakukan pada masyarakat Rohingya.
Para peneliti menyarankan agar pemerintah Myanmar berada dalam tahap akhir dari proses genosida yang terorganisir melawan Rohingya dan telah meminta masyarakat internasional untuk memperbaiki situasi seperti itu.
Orang Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang berada di negara bagian Rakhine, yang sebelumnya dikenal sebagai Arakan. Orang-orang Rohingya dianggap “entitas tanpa negara”, karena pemerintah Myanmar menolak untuk mengakui mereka sebagai salah satu kelompok etnis di negara tersebut. Untuk alasan ini, orang-orang Rohingya tidak memiliki perlindungan hukum dari Pemerintah Myanmar, dianggap hanya sebagai pengungsi dari Bangladesh, dan menghadapi permusuhan yang kuat di negara ini – sering digambarkan sebagai salah satu orang yang paling teraniaya di bumi.
Untuk menghindari situasi mengerikan di Myanmar, Rohingya mencoba memasuki negara-negara Asia Tenggara secara ilegal, mengemis untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan dari negara-negara yang mereka tujui saat melarikan diri.
Sesuai dengan kisah cerita atau kronologi diatas maka sebagai salah satu LSM yang peka dan peduli kepada hak hak asasi manusia, FOMAPAK melalui Sekretaris Jenderalnya, Ibnu Sakdan Abubakar mendesak kepada beberapa pihak yang bersangkutan untuk melakukan beberapa langkah langkah penting.
“Kami meminta dan mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk segera menghentikan tindakan brutal rezim myanmar terhadap masyarakat rohingya di Rakhine. Mendesak UNHCR sebagai badan pelindung dunia bagi pelarian untuk segera melakukan perlindungan kepada masyarakat rohingya untuk mendapatkan hak mereka sesuai dengan konvesi geneva tahun 1951 serta kami juga mendesak OHCHR sebagai badan dunia yang memperjuang hak hak asasi manusia untuk memberi sanksi kepada seseorang atau kelompok dengan mengatasnamakan agama yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan untuk dihukum sesuai undang undang internasional,” ujar Ibnu Sakdan Jumat, (8/9).
Selain itu FOMAPAK juga meminta Bapak Joko Widodo selaku presiden Indonesia agar dapat bersikap tegas terhadap pemerintah Myanmar untuk tetap menjadi salahsatu negara anggota ASEAN dan tidak menjadi negara terrorist.
Meminta kepada badan penyelenggara hadiah nobel untuk segera menarik balik atau mencabut kembali nobel perdamaian yang telah diberikan kepada Aung San Suu Kyi.
“Kami juga meminta OIC selaku Organisasi Negara Negara Islam untuk dapat berperan penting untuk menekan pemerintah Myanmar agar dapat menghentikan semua kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dengan terorganisir, besar besaran dan sitematis. Mendesak negara-negara ASEAN untuk memberi sanksi kepada negara Myanmar untuk dicabut kembali keanggotaan Myanmar sebagai Negara anggota Asean jika kejahatan kemanusiaan terus berlanjut di Rakhine,” tutur Ibnu
Pemerintah Bangladesh juga diminta untuk membuka perbatasan demi kemanusiaan terhadap masyarakat Rohingya serta meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk dapat mempertimbangkan segala kemungkinan termasuk menyediakan kawasan atau daerah tertentu sebagai tempat penampungan sementara kepada pelarian Rohingya.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai masyarakat muslim terbesar harus meju terdepan membantu masyarakat muslim Rohingya. [ES]