PARIS, (Panjimas.com) – Presiden Prancis Emmanuel Macron Selasa, (13/02) lalu menegaskan bahwa dirinya akan mengintruksikan tindakan penyerangan militer jika memang terdapat bukti yang muncul bahwa rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia terhadap warga sipil di Suriah.
Saat berbicara kepada para wartawan di Istana Elysee, Macron mengatakan penggunaan senjata kimia terhadap warga sipil di Suriah adalah “garis merah” bagi Prancis.
Presiden Macron mengatakan pasukan keamanan Prancis sejauh ini belum mendapatkan bukti adanya penggunaan senjata kimia terhadap penduduk sipil Suriah, dikutip dari AA.
Ia menambahkan bahwa pihaknya “dengan serius mengikuti dan memantau” permasalahan tersebut.
Presien Emmanuel Macron berbicara melalui sambungan telepon ke Presiden Rusia Vladimir Putin pada hari Jumat (09/02) lalu. Kemudian, Macron mendesak Putin untuk menindak rezim Assad dengan tujuan “mengakhiri kemerosotan situasi kemanusiaan yang semakin parah di wilayah Ghouta Timur dan Idlib”.
Pasukan rezim Assad telah melakukan serangan udara intensif di wilayah tersebut sejak Kamis pagi (08/02).
Desa-desa di Ghouta Timur terus menjadi sasaran pasukan rezim Assad, meskipun fakta bahwa wilayah-wilayah tersebut termasuk dalam jaringan zona de-eskalasi dimana tindakan agresi militer dilarang.
Rezim Bashar al-Assad, bagaimanapun, telah berulang kali melanggar kesepakatan zona de-eskalasi tersebut dan telah menargetkan wilayah-wilayah pemukiman di Ghouta Timur hingga menewaskan total 524 jiwa dan menyebabkan sekitar 2.000 korban lainnya luka-luka sejak 29 Desember 2017.
Menjadi rumah bagi sekitar 400.000 penduduk, Ghouta Timur tetap berada di bawah pengepungan rezim yang melumpuhkan selama lima tahun terakhir. Dalam laporan tahunan yang baru saja dirilis, White Helmets menuding bahwa sebanyak 1.337 warga sipil dibunuh di Ghouta Timur pada sepanjang tahun 2017 akibat serangan-serangan yang terus berlanjut oleh pasukan rezim Bashar al-Assad.
Ghouta Timur telah dikepung selama 5 tahun lamanya dan akses kemanusiaan ke kota yang merupakan rumah bagi 400.000 warga sipil tersebut kini telah benar-benar terputus. Ratusan ribu penduduk saat ini sangat membutuhkan bantuan medis.
Dalam 8 bulan terakhir, rezim Bashar al-Assad telah mengintensifkan pengepungan di wilayah Ghouta Timur, sehingga hampir tidak mungkin disalurkannya pasokan makanan dan akses obat-obatan ke distrik tersebut sehingga membuat ribuan pasien dalam kondisi kritis dan memerlukan pengobatan segera.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa. [IZ]