JAKARTA (Panjimas.com) – Lembaga Bantuan Hukum Street Lawyer mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyebut pasangan suami istri yang menikah siri tetap bisa membuat KK (Kartu Keluarga) dengan syarat-syarat tertentu. LBH tersebut mengapresiasi langkah tersebut dengan beberapa alasan.
Wisnu Rakadita, S.H., M.H. yang merupakan tim LBH Street Lawyer dalam rilis yang diterima Panjimas.com, Jum’at (08/10/2021) menyatakan bahwa langkah pemerintah tersebut adalah bentuk jaminan kepastian hukum bagi seluruh warga negara Indonesia agar terdata dalam kartu keluarga tanpa terkecuali, terutama sekali bagi wanita yang menikah siri dan anak yang hasil pernikahan siri tersebut. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
“Bahwa dalam beberapa kasus, sering terjadi pengabaian hak dan tanggung jawab dari suami terhadap istri siri serta anak yang dilahirkannya, semata karena pernikahannya tidak tercatat dalam buku nikah atau tidak terdata dalam KK ataupun dokumen negara lainnya. Belum lagi perlakuan diskriminatif kerap dialami oleh anak yang akibat tak tercatat dalam dokumen kependudukan. Dengan adanya Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak sebagai syarat pembuatan KK bagi pasangan nikah siri, dan didatanya pihak yang menikah siri tersebut dalam satu KK, maka dapat meminimalisir terjadinya pengabaian hak dan tanggung jawab serta perlakuan diskriminatif terhadap perempuan yang menikah siri dan anak yang dilahirkannya. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 B ayat (1),” kata Wisnu sapaan akrabnya.
Bunyi Pasal 28 B ayat (1) :
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
Wisnu juga menyatakan bahwa dengan dapat didatanya pasangan nikah siri dalam 1 (satu) KK, anak yang dihasilkan oleh pernikahan tersebut dapat dimasukan dalam 1 (satu) KK yang sama, sehingga juga mempermudah anak dari pasangan nikah siri tersebut memperoleh Akta Kelahiran dengan nama Bapak dan Ibu yang jelas serta pemenuhan hak-hak asasi anak. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945, dan Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak.
Bunyi Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 :
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Bunyi Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak :
“Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”
Oleh karena itu, menurut Wisnu bahwa setiap upaya pemenuhan Hak Konstitusional oleh pihak penyelenggara negara, termasuk pemerintah, perlu didukung dan diapresiasi, dengan tidak melupakan pentingnya pengawasan oleh segenap elemen masyarakat terhadap pelaksanaannya dilapangan.
Kebijakan tersebut kini ramai diperbincangkan. Dilansir Detik.com, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorum Niam menilai dari segi fiqh, kebijakan tersebut dinilai benar dan solutif. Ia menyatakan bahwa pernikahan siri telah terpenuhi syarat dan rukun nikah. Namun, nikah siri belum dicatatkan maka hukumnya tetap sah.
“Karena pernikahan siri dalam pengertian pernikahan yang terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi belum dicatatkan itu hukumnya sah. Pernikahan dalam Islam itu peristiwa keagamaan, yang keabsahannya terikat oleh ketentuan agama,” tuturnya.
Selain itu, aturan yang dibuat Dukcapil juga disebut sesuai dengan UU tentang Perkawinan. Dimana disebut pernikahan sah bila dilakukan menurut hukum agama.
“Ini juga sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agama,” ujarnya.