ANKARA, (Panjimas.com) — Ibukota Turki, Ankara, Jumat (06/07) menjadi tuan rumah pertemuan konsultasi internasional mengenai krisis Rohingya dengan fokus pada tantangan untuk memperbaiki kondisi kehidupan bagi para pengungsi.
Saat menyampaikan pidato pembukaan dalam konferensi tersebut, Wakil Menteri Luar Negeri Turki Umit Yalcin mengatakan krisis kemanusiaan di negara Rakhine Myanmar dan Cox’s Bazar Bangladesh tetap berlangsung meskipun semua upaya telah dilakukan.
Yalcin menegaskan ucapan terimakasih Turki kepada pemerintah Bangladesh yang mampu mencegah situasi bencana kemanusiaan dengan membuka perbatasannya. Namun, dia mengatakan semua upaya itu masih belum cukup.
“Selain upaya kami yang dibuat dalam front kemanusiaan, kami juga harus meningkatkan upaya kami di front politik, sebagai anggota masyarakat internasional yang bertanggung jawab,” pungkas Wamenlu Yalcin, dikutip dari Anadolu.
Ada kebutuhan mengenai strategi yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah politik, ekonomi dan kemanusiaan yang dihadapi Muslim Rohingya, imbuhnya.
Kepala Delegasi Uni Eropa untuk Turki, Duta Besar Christian Berger serta para pejabat senior dari AS, Australia, Bangladesh, Finlandia, AS, Swiss, Jepang, Kanada, Qatar, Norwegia, Thailand dan badan-badan PBB turut menghadiri pertemuan konsultasi internasional tersebut.
Perwakilan dari Kementerian Kesehatan Turki dan organisasi NGO/LSM Turki lainnya – termasuk Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat (AFAD), Bulan Sabit Merah Turki, serta Badan Koordinasi dan Kerjasama Turki (TIKA) – juga berpartisipasi dalam pertemuan tersebut.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]