SOLOK (Panjimas.com) – Pascra heboh pernyataan dr. Fiera Lovita, seorang dokter yang bekerja di RSUD Kabupaten Solok , Sumatera Barat, di media sosial dan menjadi viral, membuat geram warga setempat. Warga protes, bahwa tidak ada persekusi di Kota Solok.
Dalam keterangan tertulisnya, Risko Mardianto, anak nagari dari Solok Prov. Sumatera Barat yang juga seorang mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Mahaputera Muhammad Yamin Solok, sampai membuat Surat Terbuka yang ditujukan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jendral Polisi Tito Karnavian di Jakarta.
“Dengan segala hormat, sepuluh jari tersusun di dada, sebelas dengan tundukan kepala, tiga dan empat belas dengan simpuhan dua kaki. Sebagai warga Solok, saya tentu tahu bagaimana keadaan lapangan di Solok. Saya menyesalkan adanya pernyataan bapak (Tito) tentang Kapolres kami, AKBP Susmelawati Rosya yang bapak anggap gagal menangani kasus persekusi di Solok.”
Pernyataan Tito Karnavian dihadapan media yang kemudian beritanya menjamur di Solok ini kemudian direspon Risko yang menyebut pernyataannya merupakan suara dari masyarakat Solok Prov. Sumbar.
Menurut Risko, sampai hari ini tidak ada persekusi (perburuan orang) di Solok. Pernyataan dr. Fiera Lovita yang diterbitkan dimedia massa secara nasional, dimana ia menyatakan sebagai korban persekusi di Solok belum pernah dibuktikan melalui putusan pengadilan di Solok.
“Dengan kata lain tidak ada satupun putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ada persekusi di Solok maupun menyatakan bahwa dr. Fiera Lovita sebagai korban persekusi di Solok,” ujarnya.
Memang benar, dr. Fiera Lovita telah menjadi buah bibir di masyarakat, karena dirinya dianggap menghina ulama dan pernah meminta maaf kepada masyarakat secara tertulis diatas materai Rp. 6000,- dan itu dilakukan secara sukarela, tanpa dipaksa atau karena diburu orang Solok ke tempatnya bekerja.
Adapun kedatangan beberapa ormas ke RSUD Solok bukan untuk mengadili atau menakuti dr. Fiera, melainkan untuk menanyakan keaslian tulisannya di facebook dan meminta kejelasan pihak mana yang ia komentari. Hal itu juga difasilitasi oleh kepolisian dan pihak management RSUD Solok.
Pernyataan maafnya kemudian dimuat pula oleh media massa yang ada di Solok dan Sumatera Barat. “Kami warga Solok merasa heran jika tindakan itu disebut persekusi, apakah untuk mempertanyakan hujatan atau ujaran kebencian terhadap ulama kami agar tidak terjadi fitnah kepada dr. Fiera Lovita ataupun ulama maupun ormas Islam itu dianggap memburu yang bersangkutan?” tanyanya.
Risko menjelaskan, sebetulnya ini bagian toleransi warga Solok. Umat Islam mencoba untuk tidak melaporkan dr. Fiera Lovita ke aparat kepolisian, namun terlebih dahulu mengklarifikasi kepada dr. Fiera Lovita. Hal itu dilakukan dengan damai tanpa konflik (kegaduhan) dan tanpa memburu orang (dr. Fiera Lovita).
“Kalau mau, bisa saja saat itu ulama (orangtua kami) mengadukan dr. Fiera ke aparat kepolisian. Namun agar tidak asal melapor, beberapa tokoh agama di Solok mencoba mengklarifikasi terlebih dahulu. Agar tidak gaduh dalam proses klarifikasi tersebut, kami dibantu aparat keamanan dari Polres Solok.”
Pasca permohonan maaf oleh dr. Fiera Lovita, ia tetap bekerja dan persoalan dianggap selesai, setelah diadakan jumpa pers di Polres Solok Kota oleh dr. Fiera Lovita bersama Kapolres, Pemerintah Daerah dan segenap tokoh agama di Solok.
Dalam pernyataannya, dr. Fiera Lovita berterima kasih kepada Kapolres AKBP. Susmelawati Rosya yang telah optimal bekerja dan menangani penyelesaian kasusnya dengan tanpa menimbulkan gesekan atau kegaduhan.
“Sejak saat itu segala yang berkaitan dengan dr. Fiera Lovita dan umat Islam tidak ada lagi. Sampai hari ini tidak ada satupun warga solok yang mencari dr. Fiera Lovita. Persekusi dari mana itu pak ?” tanya Risko.
“Sampai saat ini tidak jelas siapa pelaku persekusi dan bentuk persekusi bagaimana yang dilakukan orang Solok maupun ormas terhadap dr. Fiera? Selain itu tidak ditemukan laporan kasus persekusi di Polres Solok Kota terhadap dr. Fiera Lovita . Sebagai pihak yang butuh perlindungan, aparat keamanan dari Polres Solok Kota selalu siap melindungi 24 Jam 7 Hari 7 malam.
Menurut Risko, tuduhan adanya persekusi itu terlalu prematur dan mengada-ada saja. Jauh sebelum dr. Fiera lovita tiba di Jakarta, ia juga menyatakan ke media untuk cuti dari pekerjaan dan menenangkan fikirannya, secara ia ingin bertemu suaminya pula. Lalu, tiba-tiba di Jakarta ia menggelar jumpa pers dengan menyatakan ia sebagai korban persekusi di Solok.
“Ini aneh dan menyakitkan sekali bagi kami warga solok. Kalau memang butuh perlindungan, mengapa ia kabur ke Jakarta dan mengapa ia menggelar jumpa pers di Polres Solok Kota didampingi anak-anaknya saat itu.”
Selanjutnya, dugaan adanya persekusi di Solok yang belum pernah dibuktikan, telah mencemarkan nama daerah Solok, seolah daerah ini dianggap tidak aman. “Sekali lagi, tidak ada kasus persekusi di Solok Prov. Sumbar. Dr. Fiera Lovita menggelar jumpa pers di Jakarta dan membuat pernyataan bahwa ia di buru dan di intimidasi, tentu tidak dapat kami terima. Karena tidak satupun warga memburunya, sampai hari ini tidak ada pihak manapun yang melukai dinya.”
Putusan Kapolri mencopot Kapolres Solok Kota karena dianggap gagal menangani kasus persekusi membuat kaget warga Solok. Bagi warga, pencopotan Kapolres Solok itu tidak adil.“Sampai saat ini Solok aman dan damai. Kami memang tidak dapat menerima pencopotan AKBP Susmelawati Rosya, SS karena kami tidak melakukan persekusi terhadap siapapun di Solok.”
Sebagai tambahan, dr. Fiera Lovita yang awalnya menyatakan telah keliru menulis difacebooknya hari ini menutup akun facebooknya, padahal postingan dan facebook tersebut adalah salah satu bukti ia menyatakan pendapat dengan ujaran kebencian. Tapi yang menyakitkan, dr. Fiera malah menyebut korban persekusi yang tidak bisa ia buktikan.
“Bapak Kapolri yang terhormat, sangat jelas bahwa tidak ada persekusi di Solok. Hal ini mengakibatkan pertanyaan bagi kami selaku warga Solok. Mengingat Kapolres telah bekerja optimal bersama jajarannya, tapi malah dicopot. Kami mencintai AKBP Susmelawati, karena kami tidak pernah berbenturan dengan pihak manapun. Kondisi aman aman saja. (buyung/desastian)