JAKARTA (Panjimas.com) – Selama persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta Timur, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selaku Penggugat menghadirkan sejumlah saksi fakta maupun saksi ahli. Untuk saksi fakta misalnya, HTI menghadirkan beberapa pengurus DPP HTI seperti Muhammad Oemar Al Katiri, Noviar Baderanie, Ahlun Nazar Hatala, Faridj Wadjdi, dan Abdul Fanani.
Sedangkan saksi ahli menghadirkan Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum, Dr. Daud Rasyid Sitorus, MA., LC, Moefich Hasbullah (ahli sejarah Islam), Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., M.H, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.S
Saat menyampaikan pandangannya sebagai saksi ahli di persidangan , Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.S, menerangkan, bahwa dakwah fikriyah yang dilakukan HTI sudah benar menurut ajaran Islam, yakni sesuai dengan QS. An-Nahl ayat 125.
KH. Didin berpendapat, dakwah siyasah atau dakwah politik yang dijalankan oleh HTI sudah benar, karena pada dasarnya dakwah politik ingin menyadarkan umat. Di dalam kehidupan Islam tidak mungkin berjalan dengan baik tapa solitik atau siyasah.
Ahli berpandangan, dalam kenyataan di lapangan dakwah-dakwah yang dilakukan oleh HTI lebih tepat dianggap sebagai kegiatan ormas, bukan partai politik. Karena HTI tidak pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan dalam kegiatan organisasi politik.”Khalifah adalah bagian dari sejarah Islam dan memang bersumber pada ajaran Islam,” katanya.
Lebih lanjut Prof. Didin mengatakan, bahwa pembahasan buku-buku Taqiyuddin An-Nbbani pada dasarnya membahas mengenai sejarah khilafah dan lebih kepada tinjauan akademis dan tidak berisi paksaan. “HTI adalah kelompok dakwah yang menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran,” tandasnya.
Pendapat Dr. Daud Rasyid
Sementara itu, Dr. Daud Rasyid Sitorus, MA., LC yang juga didihadirkan sebagai saksi ahli menerangkan, bahwa khilafah adalah sistem kepemimpinan yang merupakan ajaran Islam. Pengalaman Ustaz Daud Rasyid selama berdakwah di Amerika, ada kemiiripan sistem Negara bagian Amerika seperti sistem khilafah dimana terdapat satu pucuk kepemimpinan tinggal membawahi kepemimpinan di bawahnya.
“Konsep Khilafah yang disampaikan HTI masih dalam tataran pesan normative saja. Dahulu sistem khilafah Utsmani membawahi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, namun Utsmani yang bermahzab Hanafi tidak pernah memutus perkara di Nusantara yang bermazhab Syafii dengan Mazhab Hanafi,” jelas Ustaz Daud.
Ahli menerangkan, bahwa kesultanan di Nusantara berada di bawah Kekhalifahan Utsmani yang diposisikan sebagai simbol. Para Sultan dalam menjalankan kepemimpinannya meminta restu kepada kfalifah Utsmani, tetapi untuk praktek lokal melaksanakan pemerintahan murni dilakukan oleh pemerintahan Kesultanan setempat.
Ketika kekhalifahan itu runtuh, kata Ustadz Daud, telah banyak upaya dilakukan umat Islam di seluruh dunia untuk mengembalikannya, termasuk pula para founding fathers di Negeri kita upaya perjuangannya diilhami oleh konsep khilafah, namun hasil akhirnya adalah kompromi.
“Pendapat Ali Abul Raziq yang menyatakan khilafah bukan ajaran Islam sangat tidak layak dijadikan rujukan,” tegas Daud Rasyid. (ass)