WASHINGTON, (Panjimas.com) — Pertemuan tingkat tinggi kedua antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Korea Utara Kim Jong-un yang disebutkan akan terlaksana pada awal Januari 2019, urung terjadi.
Padahal, dalam pesan awal tahun yang disiarkan melalui televisi nasional Korea Utara pada 31 Desember 2018, Kim Jong Un mengatakan siap melakukan negosiasi yang menghasilkan “Sesuatu seperti yang diharapkan dunia.”
Meskipun tanpa menjelaskan detail hasil yang diharapkan tersebut, banyak pihak menilai pernyataan tersebut sinyal positif dari Kim Jong-un untuk melanjutkan proses perundingan dengan AS.
Selain belum adanya kepastian akan pertemuan kedua Trump-Kim setelah yang pertama di Singapura, pada Juni 2018, Kim juga belum menuntaskan janjinya untuk mengunjungi Seoul paling lambat pada Desember 2018, yang sebetulnya akan menjadi pertemuan keempatnya dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.
Terkait hal itu, Kim telah mengutarakan penyesalannya, namun juga tidak memberikan detail kapan akan mengganti waktu pertemuan yang sebelumnya ia batalkan sepihak.
Di tengah ketidakpastian rencana pertemuan kedua Kim-Trump, Presiden Donald Trump pada 6 Januari lalu mengatakan kepada wartawan di Washington bahwa Amerika Serikat dan Korea Utara sedang merundingkan tempatnya.
Sebelumnya, di awal Januari, pejabat senior Korea Utara dikabarkan telah berkunjung ke Washington untuk membicarakan rencana pertemuan kedua antara Trump dan Kim.
Kantor berita Reuters melaporkan pada 17 Januari, bahwa Vietnam tengah bersiap menjadi tuan rumah bagi pelaksanaan pertemuan Kim-Trump kedua.
Kabar tersebut dikuatkan dengan laporan bahwa Kim akan melakukan kunjungan kenegaraan ke Vietnam setelah perayaan Tahun Baru Imlek pada 5 Februari 2019.
Terlepas dari berbagai kabar itu, masyarakat internasional–terutama rakyat dua Korea yang terdampak langsung, hanya dapat menunggu tentang kapan dan di mana pertemuan Trump-Kim akan berlangsung. Namun, satu hal yang perlu dipastikan, yakni keberlanjutan perundingan denuklirisasi Semenanjung Korea yang melibatkan Trump dan Kim sebagai pemain kunci.
Untuk menuju ke pertemuan kedua, peneliti senior The Heritage Foundation, lembaga think-tank konservatif yang berbasis di Washington DC, mengatakan pemerintahan Presiden Trump semestinya belajar dari pertemuannya yang pertama dengan Kim di Pulau Sentosa, Singapura, 12 Juni 2018.
Peneliti Senior Bidang Asia Timur The Heritage Foundation Bruce Klingner menjelaskan kepada jurnalis Asia-Pasifik peserta program liputan Meridian International Center pada 4 Desember 2018, bahwa ada tiga kesalahan utama dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Kim-Trump di Singapura.
Menurut mantan agen CIA itu, tiga kesalahan tersebut menyangkut penundaan latihan militer bersama AS-Korea Selatan, pencintraan berlebihan Kim Jong-un dan persetujuan pada deklarasi bersama yang belum memiliki arah yang jelas pada denuklirisasi.
Alih-alih, AS yang merupakan sekutu Korea Selatan menunda latihan militer bersama yang rutin dilakukan setiap tahun sebagai bentuk “kompromi” dalam memberikan jaminan keamanan bagi Korea Utara yang tengah berupaya menuju denuklirisasi Semenanjung Korea.
“Hasil pertemuan itu seperti memberi hadiah terus-terusan. Kini, setiap kali ada rencana latihan bersama, Korea Utara dan Selatan akan mengeluh bahwa jika itu dilakukan akan mengecilkan kemajuan yang sedang diupayakan. Kemudian, Amerika yang akan disalahkan,” tukas Klingner.
Padahal, latihan militer bersama merupakan salah satu bentuk komitmen persekutuan AS dan Korea Selatan, meskipun tidak bisa dimungkiri bahwa tujuannya untuk mempersiapkan pertahanan diri dari ancaman serangan dari Korea Utara.
Kesalahan kedua, yakni pencitraan berlebihan pada sosok Kim Jong-un, juga berpotensi menggeser fokus pada isu terpenting, yakni perlucutan senjata nuklir, pada Kim yang “heroik” karena bersedia melakukan berbagai pertemuan, baik dengan Presiden Moon maupun Presiden Trump, yang sebetulnya belum menghasilkan sesuatu yang konkret.
“Orang-orang akan lebih melihat sisi ‘heroik’ Kim, dan itu yang diharapkan Kim Jong-un. Dalam hal ini jika dilihat secara objektif, sebenarnya dia seorang humas yang bagus,” tandasnya.
Oleh karena itu, menurut Klingner, pemerintahan Trump perlu benar-benar mempersiapkan premis yang rinci untuk dibawa ke pertemuan kedua. Tanpa kejelasan landasan berpikir dari pihak AS, mantan kepala kantor CIA di Korea itu menilai sulit untuk membahas denuklirisasi, apalagi soal lain yang juga penting, yakni isu pelanggaran HAM di Korea Utara.
Pendapat serupa disampaikan Peneliti Senior Isu Korea dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington DC, Sue Mi Terry, yang menganggap penundaan latihan militer bersama sebagai bagian dari kompromi untuk membawa Korea Utara ke meja perundingan denuklirisasi tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, Terry mengatakan meskipun tidak ada laporan uji coba senjata nuklir Korea Utara sepanjang 2018, namun laporan dari intelijen AS menyebutkan bahwa proyek penelitian untuk mengembangkan senjata nuklir mereka tetap berjalan.
“Saat akhirnya kita menyelenggarakan latihan militer bersama, apakah kemudian Korea Utara punya alasan untuk melakukan provokasi balasan karena AS dan Korea Selatan melakukan latihan bersama? Saya memahami inilah yang diinginkan Kim,” paparnya.
Secara tidak langsung, Terry mengatakan posisi AS menjadi inferior dalam upaya perundingan dengan Korea Utara, namun hal ini juga lebih dikarenakan pemerintahan Trump belum memiliki posisi yang jelas tentang negosiasi perlucutan nuklir.
Terry mengatakan dalam pertemuan di Singapura, Trump tidak menunjukkan strategi dan tujuan yang jelas yang ingin diraih dari perundingan dengan Kim, bahkan tidak untuk persetujuan akan arti denuklirisasi sendiri, apakah berarti seluruhnya atau hanya untuk misil jarak jauh.
Di sisi lain, langkah Trump untuk melanjutkan upaya menuju perundingan denuklirisasi kemungkinan terhambat situasi politik dalam negeri AS, yang saat ini masih disibukkan dengan rencana pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko yang anggarannya ditolak Kongres. Pun, Kongres AS saat ini dikuasai Demokrat yang kerap berbeda pandangan dengan Trump.
Menurut Terry, pemerintahan Trump masih memiliki kartu as dengan menjatuhkan sanksi apabila rezim Kim melakukan uji coba nuklir lagi, yang akan diklaim sebagai balasan “provokasi” latihan militer bersama. Meskipun demikian, menjatuhkan sanksi maksimum juga terbukti tidak selalu efektif karena negara lain, seperti China dan Rusia masih dapat mendukung Korea Utara.
Terlebih lagi Kongres AS yang kini dikuasai Demokrat juga akan cenderung mempertanyakan langkah pemerintahan Trump apabila sanksi yang lebih berat kembali dijatuhkan kepada Korea Utara.
“Jika Trump tidak memanfaatkan kesempatan kedua ini, waktu akan berlalu dan Amerika akan kembali sibuk pada urusan pemilu. Saat itu, bukan tidak mungkin Kim akan kembali bermain tarik-ulur, menunggu siapa yang duduk di pemerintahan, dan akhirnya kita harus memulai seluruh proses dari awal lagi,” jelasnya.
Dunia telah mencatat keberhasilan Trump mengajak Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un untuk bertemu di Singapura tahun lalu. Suatu upaya yang belum pernah berhasil dilakukan Presiden AS sebelum Trump.
Bahkan, oleh Presiden George Bush yang mengajak ayah Kim Jong-un, Kim Jong-il, untuk maju ke perundingan setelah “berkompromi” dengan mengumumkan penarikan senjata nuklir dari pangkalan militer Angkatan Laut dan Angkatan Darat AS di Korea Selatan pada 1991.
Namun, pertemuan bersejarah Trump-Kim di Singapura itu akan jadi sia-sia jika tidak ada keberlanjutan proses yang terukur untuk menghasilkan kesepakatan yang jelas mengenai denuklirisasi di Semenanjung Korea. Suatu kesepakatan yang juga akan membuka pintu bagi negosiasi tentang hal-hal mendesak lainnya, seperti peningkatan perlindungan HAM dan pembangunan ekonomi di Korea Utara.
Kim Jong-un melalui pidatonya untuk menyambut Tahun Baru 2019 telah memberikan sinyal untuk melanjutkan proses perundingan, oleh karena itu Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump perlu bergerak cepat untuk memberikan tanggapan.[IZ]