PANJIMAS.COM – Assalamu’alaaikum ustadz, saya pemuda berusia 20 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa semester 5 di universitas negeri di Sumatera Selatan. Saya mempunyai niat untuk menikah muda di usia saya saat ini, yakni saat saya masih kuliah inilah dan rencananya ingin menikah di semester 6.
Saya sudah mempunyai calon yang sedikit lebih tua dari saya yang insya Allah saya rasa cocok dengan saya. Kami sama-sama kuliah di universitas yang sama. Niat kami sudah bulat dan sepakat untuk menikah di usia muda ini daripada seperti kebanyakan muda-mudi hedonis sekuler di sekitar yang melampiaskan cintanya melalui aktivitas maksiat dengan pacaran.
Tetapi yang menjadi kendala kami adalah kedua orang tua kami sama-sama belum mengizinkan kami untuk menikah, padahal niat kami menikah adalah untuk mengharapkan ridha Allah serta menjaga kesucian diri kami masing-masing dengan jalan menikah dan kami juga sudah saling ridha untuk menikah di usia muda ini.
Alasan orang tua kami masing-masing belum mengizinkan karena usia kami yang masih muda (terlebih orang tua saya menyuruh saya menikah di usia minimal 26 tahun), studi kuliah kami yang belum selesai dan karena saya belum mempunyai pekerjaan. Apa yang harus kami lakukan? (Andi Satya_Lubuklinggau)
Jawaban: Wa’alaikumsalam warhamtullahi wa barakatuh. Bismillahirrahmanirrahim, subhanallah keinginan yang mulia untuk segera menikah dari sosok pemuda seperti antum seharusnya diapresiasi. Memang benar, lebih baik menikah daripada berpacaran yang bisa menimbulkan dosa dari maksiat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).
Perlu diketahui, ulama berbeda pendapat tentang hukum asal menikah. Namun, mayoritas ulama berpendapat hukum asalnya adalah sunnah, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Al-Imam An-Nawawi:
عندنا وعند العلماء كافة أمر ندب لا إيجاب فلا يلزم التزوج ولا التسري سواء خاف العنت أم لا هذا مذهب العلماء كافة ولا يعلم أحد أوجبه إلا داود ومن وافقه من أهل الظاهر ورواية عن أحمد
Menurut kami dan banyak ulama, perintah ini sifatnya anjuran, dan bukan wajib. Karena itu, tidak wajib harus menikah atau memiliki budak wanita, baik khawatir zina atau tidak. Inilah madzhab umumnya ulama, dan saya tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan wajib nikah kecuali Daud az-Zahiri dan orang yang mengikuti madzhab Zahiriyah, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Syarh Shahih Muslim 9/173).
Selanjutnya, hukum menuntut ilmu (tholabul ‘ilmi) itu adalah wajib, hal ini sengat jelas disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Sehingga dengan demikian, apabila dalam kondisi ‘normal’, maka tentu berlaku awlawiyat (prioritas) dalam menjalankan keduanya. Artinya, menuntut ilmu atau kuliah yang hukumnya wajib lebih didahulukan ketimbang menikah yang hukumnya sunnah.
Namun, hukum menikah bisa berubah sesuai dengan kondisi seseorang. Menikah bisa menjadi wajib bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Dalam kaidah fiqh disebutkan:
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.”
Seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah.
Kemudian, hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih dan disiplin.
Apa yang Perlu Dilakukan bagi Mahasiswa/i yang Bertekad Menikah
Pertama, ia harus mempersiapkan keilmuan terkait dunia pernikahan yang bisa dibaca melalui buku-buku fiqih atau seputar pernikahan. Bisa juga dengan bertanya kepada para ustadz, ulama, kyai, murobbi atau musrif terkait pernikahan.
Hal ini perlu dilakukan, sebab ilmu harus dimiliki sebelum berkata dan beramal (al-ilmu qablal qauli wal ‘amali). Sehingga perniakahan yang sakral itu tidak dilakukan asal-asalan, hanya bermodal semangat.
هذا الموضوع لهُ أهمية بالغةٌ, جعلت الفقهاء يجعلون له في مصنفاتهم مكانا رَحبًا, يفصلون فيه أحكامَه, ويوضحون فيه مقاصده وآثاره؛ لأنه مشروع في الكتاب والسنة والإجماع
Berkata asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Pembahasan ini (yaitu masalah pernikahan -ed) sangatlah penting, di mana para fuqaha (ulama fiqih) mereka menempatkan pembahasan masalah ini di dalam tulisan-tulisan mereka dengan pembahasan yang panjang lebar, dan merinci tentang hukum-hukumnya, dan menjelaskan tujuan dan dampak baiknya. Dikarenakan menikah adalah perkara yang disyari’atkan di dalam kitab (al-Qur’an), sunnah, dan ijma’.
Kedua, kesiapan finansial, misalnya; dari mulai biaya pernikahan, mahar, kemudian nafkah setelah menikah; biaya makan sehari-hari, tempat tinggal, pakaian termasuk biaya kuliah sang istri juga menjadi tanggungan suami.
Hal ini penting mengingat nafkah kewajiban dalam rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)
Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah.
Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak terbengkalai.
Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkankarena kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Atau silahkan bernegosiasi dengan orang tua sang istri untuk meminta bantuan terkait nafkah (finansial) selama kondisi masih belum memungkinkan kerena keterbatasan kuliah. Intinya, jangan sampai istri dan anak terlantar.
Ketiga, persipkan mental. Mengingat medan perjuangan yang ditempuh lumayan menantang, yakni harus berjuang untuk menyelesaikan studi/kuliah di sisi lain harus berjuang mengarungi bahtera rumah tangga.
Perbanyak ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah, qiyamullail, berpuasa dan berdoa, serta berbagai hal lainnya agar kita senantiasa mendapatkan bimbinganNya. Bersambung… [AW]