YERUSALEM, (Panjimas.com) – Selama 10 hari terakhir di Bulan Februari lalu, Zionis Israel telah memberi perintah kontroversial ‘administrative detention’ (“penahanan administratif”) untuk 84 warga Palestina, sehingga jumlah warga Palestina yang dipenjarakan di bawah prosedur yang kontroversial itu mencapai level tertinggi sejak 2009, demikian pernyataan Palestinian Prisoners’ Club, hari Senin (29/02/2016) seperti dilansir oleh Middle East Eye.
Dari 7.000 warga Palestina yang dipenjarakan Israel, kini lebih dari 700 orang ditahan di bawah penahanan administrative yang kontroversial, kata Palestinian Prisoners’ Club [PPC]
LSM Palestina yang fokus memonitor dan mengadvokasikan para tahanan Palestina ini mengatakan bahwa 39 warga Palestina telah ditangkap dan ditempatkan di bawah prosedur penahanan administratif untuk periode antara 2-6 bulan, sementara penahanan 45 warga lainnya berkepanjangan.
Untuk diketahui, prosedur ‘administrative detention’ merupakan kebijakan kontroversial lama yang diberlakukan sejak wilayah Palestina berada dalam mandate Inggris.
Menurut PPC (Palestinian Prisoners’ Club), perintah kontroversial terbaru itu memungkinkan Zionis Israel untuk menahan tersangka tanpa melalui proses pengadilan untuk jangka waktu 6 bulan terbarukan – ini telah diterapkan pada lebih dari 700 warga Palestina.
Laporan tentang jumlah warga Palestina yang ditahan dengan penahanan adminsitratif diungkap hanya beberapa hari setelah jurnalis Palestina Mohammed al-Qiq mengakhiri aksi mogok makan 93 harinya untuk memprotes prosedur penahanan administratif setelah para pejabat Israel dan Palestina mencapai kesepakatan dengan Al Qiq dibebaskan sebulan lebih awal dari jadwal semula.
Para aktivis mengatakan kasus al-Qiq ini berakhir dengan kemenangan rakyat Palestina dan telah benar-benar memalukan kubu Israel.
Qiq, adalah seorang ayah dari 2 anak dan berprofesi sebagai koresponden untuk jaringan TV Arab Saudi, Almajd. Ia ditangkap di rumahnya di Ramallah pada 21 November tahun lalu atas apa digambarkan Shin Bet sebagai “aktifitas teror” atas nama HAMAS.
Dia melakukan aksi mogok makan sejak 25 November untuk memprotes terhadap tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk yang ia alami selama interogasi, demikian menurut Addameer, sebuah organisasi hak asasi manusia Palestina. [IZ]