JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam pernyataan sikapnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mencermati pro-kontra seputar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 dan masalah Keberadaa Negara Pancasila.
Muhammadiyah sejak awal perjuangan kemerdekaan hingga berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) senantiasa berkomitmen untuk menjaga dan menegakkan Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sikap itu sesuai dengan cita-cita nasional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa ketika itu.
“Dalam kehidupan kebangsaan Muhammadiyah sejak awal berjuang untuk pengintegrasian keislaman dan keindonesiaa. Muhammadiyah dan umat Islam merupakan bagian integral dan bangsa dan telah berkiprah dalam membangun lndonesia sejak pergerakan kebangkitan nasional hingga era kemerdekaan. “
Demikian pernyataan sikap PP Muhammadiyah yang dipimpin oleh Dr. H. Haedar Nasir, M.Si selaku Ketua Umum, dalam siaran pers yang dikeluarkan pada tanggal 2 Agustus 2017 lalu di Jakarta.
Berdasarkan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, Muhammadiyah mendukung sepenuhnya sistem negara Pancasila sebagal “Darul Ahdi Wa Syahadah”.
“Negara Pancasila yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah hasil konsensus para pendiri bangsa dan seluruh komponen bangsa Indonesia yang harus ditegakkan dan dijunjung tinggi serta dibangun menjadi negeri yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur dalam lindungan Allah Swt,” kata Haedar.
Seluruh warga dan komponen bangsa tidak boleh keluar dari kesepakatan, namun sebagai wujud perjanjian yang luhur bangsa dan negara Republik lndonesia, sekaligus membangunnya secara sungguh-sungguh menjadi negara dan bangsa berkemajuan di segala bidang kehidupan.
Kemudian, Muhammadiyah dengan dasar pikiran Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah dan pandangan Islam Berkemaiuan, paham dan gerakan yang mewajibkan berdirinya negara Khilafah Islamiyah di Indonesia tidaklah sejalan, bahkan bertentangan dengan konstitusi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam pandangan keislaman dan pengalaman seiarah Islam, tidak ada satu sistem politik dan bentuk negara yang tunggal dan absolut yang ditetapkan secara mutlak oleh nash ajaran (qothiy), sehingga pilihan sistem politik apapun merupakan pemuiudan dari utihad yang bersifat muamalah keduniawian dalam prinsip-prinsip ajaran lslam.
Muhammadiyah juga menolak paham yang memutlakkan sistem kekhalifahan Islam yang disertai sikap menegasikan pilihan politik Islam lainnya dengan menuding sebagai sistem di luar Islam [tidak lslami, sistem thaghut), lebih-lebih apabila disertai gerakan untuk mengganti Sistem politk yang telah berlaku pada setiap negara Islam atau negara Muslim.
Muhammadiyah menolak dan tidak mendukung segala paham, eksistensi organisasi, dan gerakan anti Pancasila lainnya yang berusaha mengganti Dasar Negara Pancasila dan NKRI atau mengembangkan paham, ideologi, dan gerakan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Termasuk di dalamnya paham dan gerakan Komunisme maupun paham yang ingin menjadikan atau membawa Indonesia meniadi negara sekuler.
Kemudian, Muhammadiyah juga menolak segala bentuk separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia serta segala paham dan gerakan yang meruntuhkan sendi-sendi dasar NKRI.
Muhammadiyah memandang bahwa diperlukan tindakan hukum terhadap organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang terbukti secara nyata dan meyakinkan mengembangkan paham, ideologi, dan gerakan yang bertentangan serta ingin mengganti Pancasila dan/atau keberadaan NKRI. Tindakan hukum berupa pembekuan atau pembubaran Ormas tersebut semestinya dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum serta bukan atas dasar negara kekuasaan.
Dalam melakukan regulasi dan tindakan hukum terhadap Ormas tersebut hendaknya meniscayakan adanya proses pengadilan serta harus dipastikan adanya kriteria yang jelas mengenai paham, ideologi, dan gerakan yang disebut anti atau bertentangan dengan Pancasila agar tidak menjadi pasal karet dan tidak menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan.
Sementara itu bagi rakyat dan komponen bangsa memang telah diberikan hak konstitusional bahwa setiap warga negara memiliki hak kebebasan untuk berserikat. berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana termaktub dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Muhammadiyah menghargai maksud pemerintah dalam menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 untuk tegaknya NKRI, PancaSila. UUD 1945, dan Kebhinekaan sebagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bersamaan dengan itu Muhammadiyah juga menyerap aspirasi dan respons yang berkembang di masyarakat yang beragam serta terdapat pro-kontra atas sejumlah poin atau materl yang terkandung dalam PERPPU tersebut.
Kini PERPPU tersebut prosesnya telah masuk ke ranah politik di Dewan Perwakilan Rakyat, karena itu kita serahkan proses politik ini kepada DPR-RI untuk mengambil keputusan politik yang sebaik-baiknya, yang didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas serta mendukung tegaknya Sistem Pemerintahan yang demokratis dan berdasarkan hukum yang sesuai dengan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945.
Muhammadiyah menghimbau kepada masyarakat untuk menyikapi PERPPU secara cerdas. demokratis, dan elegan, serta tetap menjaga kerukunan dan persatuan nasional. Manakala tidak bersetuju dengan PERPPU maka tempuhlan cara-cara demokrat s dan melalui saluran hukum yang berlaku.
Aparatur keamanan maupun instansi pemerintah hendaknya tdak bereaksi dan melakukan langkah yang berlebihan dalam menghadapi keberatan masyarakat yang dapat menimbulkan ketakutan dan dapat memantik potensi konflik antar kelompok.
“Semua pihak harus kembali pada prinsip demokrasi dan hukum yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disertai menjunjung tinggi etika, keadaban, dan nalar yang jernih sehingga apapun masalah yang dihadapi di tubuh bangsa dan negeri ini dapat dihadapi dan diselesaikan secara cerdas dan elegan dalam suasana kebersamaan,” harap Haedar. (desastian)