KARANGANYAR (Panjimas.com) – Ratusan pemeluk Hindu di kawasan lereng Gunung Lawu sekitar Candi Cetho menyatakan masuk Islam sejak pandemi covid-19. Saat ini tengah dibina di Masjid Al Hikmah Dukuh Sanggrahan, RT 03 RW III, Anggramanis, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Masjid Al Hikmah merupakan sebuah masjid kecil di Desa tersebut. Sejak kedatangan pendakwah dari sebuah pondok pesantren yang ditugaskan ke Desa ini pada tahun 2006 silam, masyarakat muslim mulai belajar Islam dan berusaha mengamalkan ajaran Islam termasuk meninggalkan tradisi yang dinilai bertentangan dengan aqidah Islam.
Jamaah masjid yang berjumlah 11 orang yang berusaha meninggalkan tradisi kesyirikan, sempat diisolir dari penduduk setempat.
Mereka yang meninggalkan tradisi dikeluarkan dari perkumpulan warga, dan ketika memiliki hajatan tidak dibantu masyarakat lain bahkan pernah dipersulit.
Saat jamaah masjid tersebut memiliki hajatan, masyarakat yang menentangnya menutup jalan dengan batu, sehingga para tamu tidak dapat menghadiri, bahkan saluran air dimatikan. Kisah itu disampaikan Gimin, salah satu aktifis masjid yang pernah diisolir.
“Waktu itu kan 11 orang, ditarik kurang lebih 50 ribu per orang untuk bersih desa 1 Syuro,” kata Gimin kepada Panjimas.com, Selasa (15/6/2021).
Gimin mengatakan bahwa uang iuran tersebut dibelanjakan untuk membuat peralatan atau makan-makan (sesaji). Biasanya iuran dibelikan seekor kambing untuk sesembahan kemudian dibagikan ke masyarakat per bungkus tiap KK.
“Terus kami menentang ndak mau ikut setelah itu. Dari Islam kan melarang kesyirikan, persembahan selain Allah itu kan dilarang gitu. Terus masyarakat menentang-menentang terus, akhirnya kita itu sama mereka diolok-olok. Katanya kamu Islam Arab ya sana pergi ke Arab, ngenggoni wong Jowo kudu ngenggoni Jowone (tradisi.red),” katanya.
Setelah dikeluarkan dari berbagai perkumpulan warga tersebut, 11 orang muslim tersebut kembali menghidupkan masjid. Dari kejadian tersebut, jamaah masjid semakin bertambah.
“Yang tadinya ikut kelompok RT banyak yang ikut ke Masjid, jadinya kita lebih kuat,” katanya.
Meskipun diisolir dari masyarakat, para jamaah masjid tersebut justru membalasnya dengan muamalah yang baik kepada masyarakat yang menentangnya.
Gimin beserta jamaah yang lain membuat program santunan kepada masyarakat yang kurang mampu, anak yatim dan para janda tua. Santunan tersebut murni sosial, diberikan secara umum tanpa melihat latar belakang agamanya.
“Awalnya kami muamalah, sana (masyarakat) punya hajatan kita bantu bersama, meskipun mereka mengolok-olok, tapi kita diam, muamalah kan tidak dilarang oleh agama,” katanya.
Dikucilkan dari masyarakat tak membuat Gimin beserta jamaah yang lain surut semangatnya untuk berbuah baik dan terus mendakwahkan Islam. Dari kota infak masjid yang dikelolanya bersama takmir, ia membelanjakan berupa peralatan dapur atau bolo pecah, keranda jenazah dan peralatan lainnya.
Dari peralatan itu, masjid berlaku mandiri atau tidak bergantung kepada pihak lain, justru masjid meminjamkan peralatan tersebut bagi siapapun yang membutuhkan, bahkan umat agama lain termasuk pemeluk Hindu yang menjadi mayoritas di wilayah tersebut.
“Hindu juga kami tasarufi, jadi nggak harus umat Islam. Umat Hindu juga kami tasarufi, alhamdulillah baik, biasanya mereka ‘matursuwun le wong aku nyang anu kae wae ra tau diwehi neng pemerintah kok aku Masjid bola bali diwehi wae’ (terimakasih nak, aku saja tidak dikasih oleh pemerintah, kok sekarang dikasih terus dari Masjid)” Kata Bapak tiga anak tersebut.
Dengan muamalah tersebut, masyarakat yang menentang pemahaman dan amalan para jamaah masjid berangsur-angsur pudar.
Jamaah Masjid Al Hikmah tetap memberikan santunan, membantu program-program kemasyarakatan seperti kerja bakti dan sebagainya, namun tetap meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Masyarakat pemeluk Hindu dan yang lainnya saat ini saling menghormati dan bertoleransi. Sehingga kegiatan Masjid Al Hikmah diterima masyarakat dan didukung oleh perangkat desa sekitarnya.
Fenomena ratusan umat Hindu masuk Islam, terjadi sejak Pandemi Covid-19. Pada Ramadhan 1441 H tahun 2020 lalu, datang seorang dai dari Solo yang ditugaskan selama bulan suci Ramadhan.
Dengan metode dakwahnya yang lembut, dai tersebut mampu merangkul seluruh komponen masyarakat dari kalangan muda hingga yang tua. Berkat dakwahnya ke masyarakat dan berkerjasama dengan jamaah Masjid Al Hikmah, menimbulkan ketertarikan tersendiri dari pemeluk Hindu untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Namun dalam membina para mualaf di desa tersebut, Masjid Al Hikmah merasa masih membutuhkan bantuan. Hal itu disampaikan oleh Abu Yahya, salah satu aktifis masjid yang membina para mualaf tersebut saat ini.
“Orang-orang sini itu masih butuh moril, materil untuk mensupport mereka, kalau mengandalkan kita-kita sendiri itu masih kurang. Kita dari remaja masjid tempat saya khususnya itu hanya sekedarnya saja, mungkin ya membina untuk sholat, untuk melatih bagaimana cara membaca Al-Qur’an itu saja, yang lainnya untuk menguatkan mereka supaya bisa bertahan dan istiqomah di Islam itu butuh sesuatu yang menguatkan mereka,” terang Abu Yahya.
Abu Yahya mengatakan saat ini membutuhkan figur seorang tokoh, dai yang mampu bermuamalah dengan baik, berakhlaqul karimah, sehingga dapat membina para mualaf yang mayoritas bekerja sebagai petani sayur dan ekonomi menengah kebawah, serta mengembangkan dakwah Islam di lereng Gunung Lawu. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Selain itu, saldo masjid yang minim, belum mampu memberikan santunan secara merata kepada para mualaf.