PANJIMAS.COM – Indonesia kembali berduka. KM Sinar Bangun tenggelam di perairan Danau Toba, Sumatera Utara dan diperkirakan menelan 183 korban jiwa, pada Senin (18/6/2018). Ironisnya, hingga berakhir masa pencarian, korban tewas KM Sinar Bangung, tak dapat dievakuasi.
Belum kering air mata pasca tragedi KM Sinar Bangun, bencana kapal tenggelam berikutnya kembali terjadi. KM Lestari Maju karam di perairan Selayar, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada Selasa (3/7/2018). Sedikitnya, 35 orang tewas tenggelam dalam tragedi tersebut.
Begitu banyak korban yang tewas dalam kecelakaan kapal, apakah orang yang mati tenggelam itu syahid?
Definisi Syahid dan Tingkatannya
Syahid menurut bahasa, merupakan kata tunggal ( شَهيد ) sedangkan kata jamaknya adalah Syuhada, (شُهَداء), yang artinya disaksikan.
Dalam terminologi (syara’)
من مات من المسلمين في قتال الكفار وبسببه ، ويلحق به في أمور الآخرة أنواع كما سيأتي بيانه .
انظر ” الموسوعة الفقهية ” 26 / 214 و 272
Orang yang meninggal dari kalangan umat Islam dalam memerangi orang kafir dan dengan sebab (memerangi orang kafir). Diikutkan juga masalah akhirat dengan beberapa macam, nanti akan dijelaskan penjelasannya. Silahkan melihat ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, (26/ 214 dan 272).
Jadi pada dasarnya mati syahid itu dianugerahkan kepada para mujahid yang berjihad di jalan Allah, melawan orang kafir. Hal itu merupakan syahid dengan tingkat tertinggi. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل : أي الجهاد أفضل ؟ قال : من عُقر جوادُه وأُهريق دمه
“Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ditanya, “Jihad apakah yang paling mulia? Beliau menjawab, “Yang terluka kuda tunggangannya dan menumpahkan darahnya.” [HR. Ibnu Majah]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah bersabda,
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الشُّهَدَاءِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : ( الَّذِينَ إِنْ يُلْقَوْا فِي الصَّفِّ لا يَلْفِتُونَ وُجُوهَهُمْ حَتَّى يُقْتَلُوا , أُولَئِكَ يَنْطَلِقُونَ فِي الْغُرَفِ الْعُلَى مِنْ الْجَنَّةِ , وَيَضْحَكُ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ , وَإِذَا ضَحِكَ رَبُّكَ إِلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا فَلا حِسَابَ عَلَيْهِ ) . رواه أحمد (21970 ) ، وصححه الشيخ الألباني في “السلسلة الصحيحة ” 2558
Dari Nu’aim bin Hammar seseorang bertanya kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,”Sy’hada’ mana yang paling mulia? Beliau menjawab, “Mereka yang ketika bertemu dalam barisan tidak menoleh wajahnya sampai dibunuh. Mereka menuju ke kamar tertinggi di surga. Dan Tuhan mereka tertawa, kalau Tuhan anda tertawa kepada seorang hamba di dunia, maka dia tidak akan dihisab. [HR. Ahmad, 21970]
Namun demikian, dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, Allah juga menganugerahkan pahala syahid kepada orang-orang yang wafat dengan sebab selain berperang di jalan Allah.
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِيقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Syuhadaa’ (orang-orang yang mati syahid) itu ada lima, “orang mati karena terkena penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Terkait sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, Al-Imam An-Nawawi membagi tingkatan syahid sebagai berikut.
قال النووي رحمه الله
” واعلم أن الشهيد ثلاثة أقسام
أحدها : المقتول في حرب الكفار بسبب من أسباب القتال ، فهذا له حكم الشهداء في ثواب الآخرة وفى أحكام الدنيا ، وهو أنه لا يغسل ولا يصلى عليه
والثاني : شهيد في الثواب دون أحكام الدنيا ، وهو المبطون والمطعون وصاحب الهدم ومن قتل دون ماله وغيرهم ممن جاءت الأحاديث الصحيحة بتسميته شهيداً ، فهذا يغسل ويصلى عليه , وله في الآخرة ثواب الشهداء ، ولا يلزم أن يكون مثل ثواب الأول
والثالث : من غلَّ في الغنيمة وشبهه ممن وردت الآثار بنفي تسميته شهيداً إذا قتل في حرب الكفار ، فهذا له حكم الشهداء في الدنيا فلا يغسل ولا يصلى عليه , وليس له ثوابهم الكامل في الآخرة ” انتهى
” شرح النووي على مسلم ” 2 / 164
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah orang yang mati syahid itu ada tiga macam,
Salah satunya adalah orang yang terbunuh dalam memerangi orang kafir dengan salah satu sebab peperangan. Ini mendapatkan hukum orang mati syahid dalam mendapatkan pahala akhirat dan hukum di dunia. Ia tidak dimandikan dan tidak disholati.
Kedua, syahid dalam mendapatkan pahala bukan hukum di dunia. Yaitu orang sakit perut, ditusuk, meninggal terkena reruntuhan bangunan, orang yang terbunuh karena mempertahankan hartanya dan selain dari mereka yang telah ada dalam hadits yang shoheh dengan penamaan syahid. Ini dimandikan dan disholati. Di akhirat mendapatkan pahala syahid, dan hal itu tidak mesti sama dengan pahala kelompok pertama.
Ketiga, orang yang menyembunyikan gonimah dan semisalnya yang ada hadits dengan meniadakan nama syahid ketika terbunuh dalam memerangi orang kafir. Ia mendapatkan hukum syahid di dunia, maka tidak dimandikan dan tidak disholati. Dan dia tidak mendapatkan pahala sempurna di akhirat.” Selesai ‘Syarkh An-Nawawi ‘Ala Muslim, (2/164).
Apakah Orang Mati Tenggelam Langsung Dipastikan Syahid?
Memastikan seseorang meninggal dengan gelar syahid, tidak diperkenankan.
Al-Imam Al-Bukhari, dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari, beliau meletakkan sebuah judul dalam kitabnya,
باب لاَ يَقُولُ فُلاَنٌ شَهِيدٌ
“Tidak Boleh Seseorang Mengatakan Fulan Syahid”
Lalu beliau menyebutkan riwayat:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِى سَبِيلِهِ ، اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِى سَبِيلِهِ »
Abu Hurairah berkata dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: ”Allah lebih tahu siapakah yang (benar-benar) berjihad di jalan-Nya, Allah lebih tahu siapakah yang terluka di jalan-Nya.
باب لا يقال فلان شهيد أي على سبيل القطع بذلك إلا إن كان بالوحي ، وكأنه أشار إلى حديث عمر أنه خطب فقال ” تقولون في مغازيكم فلان شهيد ومات فلان شهيدا ، ولعله قد يكون قد أوقر راحلته ، ألا لا تقولوا ذلكم ولكن قولوا كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من مات في سبيل الله أو قتل فهو شهيد وهو حديث حسن أخرجه أحمد وسعيد بن منصور وغيرهما
Ibnu Hajar menerangkan: [Bab Tidak boleh Mengatakan Fulan Syahid] yakni dengan memastikan hal itu kecuali dengan (berita) dari wahyu, seolah-olah beliau (Al-Bukhari) mengisyaratkan kepada hadits Umar bahwa beliau berkhutbah lalu mengatakan: “Kalian katakan dalam peperangan-peperangan kalian ‘fulan syahid’ dan ‘fulan mati syahid’, barangkali dia telah memberatkan kendaraannya, ketahuilah janganlah kalian mengatakan semacam itu akan tetapi katakanlah seperti yang dikatakan Rasulullah: “Siapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia syahid”. “ Dan itu hadits hasan Riwayat Ahmad dan Said bin Manshur dan selain keduanya.
Selanjutnya, orang yang mendapatkan pahala syahid -sebagaimana hadits Nabi atas orang yang mati tenggelam- juga memiliki syarat, di antaranya:
Pertama, dia adalah seorang Muslim. Jadi pahala syahid tentu saja hanya bagi orang yang beragama Islam, bukan orang kafir atau musyrik. Kemudian, tidak melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat.
Pasalnya, terkadang ada saja orang yang akan melakukan perjalanan (safar), mengarungi lautan, menyeberangi danau atau sungai, dengan terlebih dahulu melarung sesajen agar selamat sampai tujuan. Hal ini jelas melanggar syariat dan tergolong perbuatan syirik yang tidak diampuni Allah.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar” [QS. an-Nisâ’/4:48]
Kedua, kepergiannya (safar) diniatkan dalam rangka amal shalih, seperti hendak berdakwah fie sabilillah, menuntut ilmu, menyambung silaturrahim, mencari nafkah dan lain-lain. Perjalanan tersebut bukan untuk bermaksiat, misalnya; berpacaran, berfoya-foya menghabiskan uang, mengunjungi tempat-tempat maksiat dan lain sebagainya.
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, tidak menyengaja melakukan perjalanan yang bisa membahayakan dirinya. Orang yang melakukan perjalanan, selain berdoa dan mematuhi adab-adab safar, juga harus memperhatikan faktor keselamatan. Perahu atau kapal yang ditumpanginya, apakah masih memadai atau overload. Bagaimana kondisi kapalnya, layak ditumpangi atau tidak. Bila, berbagai faktor terkait keselamatan itu telah ia perhatikan, namun takdirnya mengalami bencana di perjalanan, setidaknya ia telah berikhtiar. Sebaliknya, bila hal tersebut diabaikan, lalu terjadi kecelakaan di tengah jalan, maka bisa jadi orang tersebut tidak mendapat pahala mati syahid, melainkan mati konyol.
وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله : عن رجل ركب البحر للتجارة فغرق ، فهل مات شهيداً ؟
فأجاب : نعم ، مات شهيداً ، إذا لم يكن عاصياً بركوبه ، فإنَّه قد صحَّ عن النَّبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( الغريق شهيدٌ ، والمبطون شهيدٌ ، والحريق شهيدٌ ، والميت بالطاعون شهيدٌ ، والمرأة تموت في نفاسها شهيدةٌ ، وصاحب الهدم شهيدٌ ) ، وجاء ذكر غير هؤلاء .
وركوب البحر للتجارة جائزٌ إذا غلب على الظن السلامة ، وأما بدون ذلك فليس له أن يركبه للتجارة ، فإن فعل فقد أعان على قتل نفسه ، ومثل هذا لا يقال : إنه شهيد ، والله أعلم ” انتهى من “الفتاوى الكبرى” 3/22.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, tentang seseorang yang menaiki kapal dengan maksud pergi berdagang kemudian tenggelam, apakah ia dikatakan mati syahid?
Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan jawaban, iya, termasuk syahid selama ia tidak bermaksiat ketika ia naik kapal tadi. Ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, (orang yang mati tenggelam termasuk syahid; orang yang mati karena sakit perut termasuk syahid; orang yang mati terbakar termasuk syahid; orang yang mati karena wabah termasuk syahid; wanita yang mati karena melahirkan termasuk syahid; juga orang yang mati karena tertimpa reruntuhan termasuk syahid). Ada juga hadits yang menyebutkan selain dari itu.
Asalnya pergi berdagang dengan kapal itu boleh selama yakin bisa selamat. Namun kalau tidak yakin bisa selamat, maka tidak boleh bergadang dengan kapal laut. Jika nekat dilakukan, maka sama saja bunuh diri dan tidak disebut syahid. Wallahu a’lam. (Al Fatawa Al Kubra 22/3).
Kesimpulan, bagi para korban kapal tenggelam, di mana pun mereka, apakah mendapat pahala syahid? berpulang pada diri mereka masing-masing. Namun, tetap kita doakan semoga kaum Muslimin yang meninggal tenggelam, husnul khatimah. Tak lupa kita berdoa dengan sungguh-sungguh, semoga Allah karuniakan bagi kita syahadah fie sabilillah,
مَنْ طَلَبَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا أُعْطِيَهَا وَلَوْ لَمْ تُصِبْهُ
“Barangsiapa yang memohon syahadah (mati syahid) dengan jujur, maka dia akan diberikan (pahala) syahadah meskipun dia tidak mati syahid.” [HR. Muslim].
Wallahu A’lam. [AW]