JAKARTA (Panjimas.com) – Kebijakan pemerintah soal vaksinasi Covid-19 menuai kontroversi terkait kehalalan maupun efikasi yang tengah mendapat sorotan berbagai kalangan masyarakat dan sebagian umat Islam. Disusul perdebatan yang tajam yang telah kita saksikan dalam tayangan rapat antara Kementerian Kesehatan dan DPR-RI di kanal youtube resmi DPR RI pada Selasa (12/1/2021) lalu.
Belum ada kesepakatan secara resmi pertemuan tersebut, hingga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Oleh karena itu untuk menjawab kebingunan dan keresahan umat Islam, Majelis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia memberikan pandangannya dari segi syari’at Islam tentang pengobatan dan dari segi hukum yang berlaku.
A. MUKADIMAH
Sehubungan dengan kebijakan vaksinasi pandemi Covid-19 yang menuai kontroversi di masyarakat terkait kehalalan bahan atau
paduan bahan/ramuan obat pembuatan vaksin, dan efek samping setelah uji coba vaksin. Maka setelah mendalami, menelaah, dan menghimpun pandangan para ahli dibidangnya, kami sampaikan
pandangan sebagai berikut:
B. PANDANGAN DAN HASIL TELAAH
1. Dalam Syariat Islam, pengobatan mendapat tempat terhormat, berobat bagian dari (a) ikhtiar (b) al-akhdzu bil-asbab, rekuisisi, tuntutan (c) perintah agama. Demi untuk menyempurnakan pahala dan memperkuat jalan kesembuhan, maka niat berobat hendaklah karena Allah Subhahu wa Ta’ala semata, dinawaitukan untuk melaksanakan ibadah dan membantu menolong sesama;
2. Sebagai perintah agama yang punya kedudukan terhormat, berobat bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan
kesembuhan. Dan bahwa pemberian vaksin bukanlah juga satu-satunya upaya untuk mengakhiri pandemi. Menjaga daya imunitas tubuh dengan berolahraga dan pola hidup sehat, serta disiplin dalam panduan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Mengkonsumsi makanan yang halal, bernutrisi tinggi, dan thayyiban mubarakan serta senantiasa bersedekah dan berdoa
kepada Allah semata.
3. Pengobatan (al-tadawi) dilakukan dengan obat yang halal, bermutu tinggi, aman, tidak membawa risiko, dan menimbulkan
efek samping. Maka dalam hal tertentu, ada obat yang Nabi (shallallahu’alayhi wasallam) sebut sebagai “sebaik-baik obat bagi kalian” (amtsal dawa’ikum);
4. Obat, bahan obat, bahan lain yang berkhasiat obat, peracikan obat, jaminan halal obat dan izin edar obat; menjadi hal penting dalam proses pengobatan. Bahan yang berkhasiat obat disebutkan dalam Pasal 36 angka (2) UU Kesehatan. Bahan alam yang berkhasiat obat ini bisa tergolong sebagai obat esensial (Pasal 37 UU Kesehatan), dimana Nusantara cukup kaya dalam soal ini;
5. Obat tradisional (pasal 100 UU Kesehatan) setelah mendapat izin beredar (pasal 106 UU Kesehatan), memenuhi persyaratan mutu,
jaminan keamanan, kemanfaatan (pasal 106 angka (3) UU Kesehatan). Tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan (pasal 113 angka (1) UU Kesehatan), juga dapat digunakan menjadi alternatif obat berbahan alami bermutu tinggi;
6. Penggunaan obat berbahan non-halal, tidak dibenarkan dikonsumsi dan/ atau didistribusikan, kecuali dalam kondisi
darurat dan kepentingan ilmu pengetahuan, seperti fungsinya dalam hal menghilangkan rasa sakit dan atau menyelamatkan nyawa pasien. Sesuai Fatwa MUI (1 Juni 1980) Tentang Makanan dan Minuman Yang Bercampur Dengan Najis. Fatwa MUI (1 0ktober 1993) Tentang Hukum Alkohol Dalam Minuman. Fatwa MUI (23 Mei
2003) Tentang Standarisasi Fatwa Halal.
Allah berfirman:
“Jauhilah ia, supaya kalian beruntung.”
(al-Maidah:90)
Nabi (shallallahu’alayhi wasallam) bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat kalian pada perkara yang Allah sudah haramkan atas kalian.”
Shahih Bukhari, Fathul Bari (Juz 10/82).
Nabi (saw) ditanya soal khamer. “Nabi melarang dan membencinya untuk
dikonsumsi,” kata Thariq bin Suwaid al-Ju’fi (radhiyallahu’anh). Khamer
tersebut mau dijadikan obat. “Sesungguhnya khamer itu bukan obat
melainkan penyakit”. Jawab Nabi (saw).
Shahih Muslim (1984).
Imam Nawawi (rahimahullah) mengatakan:
“Hadits ini, jadi argumen hukum, tidak dibolehkannya mengkonsumsi khamer [artinya: menyimpannya] dan mengawetkannya [yaitu mengubahnya menjadi cuka]. Hadits ini juga jadi legalitas dalil yang cukup kuat menegaskan bahwa khamer bukanlah obat, dan tak layak
dijadikan obat.”
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim (Juz 12/153). Beirut: Dar Ihya’ Turat
al-Arabi (1392 H).
7. Dalam kondisi darurat, bahan non-halal, bisa dijadikan bahan campuran (mirip cuka), dengan catatan campurannya tidak ada
bekas warna, rasa, dan aroma. Punya jaminan keamanan dan tidak berisiko terhadap kesehatan.
Imam Al-Bahuti (Mesir: w.1051 H) mengatakan:
“Dan jika dicampur, bahan memabukkan itu dengan air, sehingga bahan memabukkan tadi bersenyawa. Lalu bahan itu ia minum,
maka tidak ada sanksi hudud atasnya. Karena unsur haram sudah larut dalam air. Nama air pun jadi abstrak padanya.”
Kasyfu Al-Qina’, (Juz 6/118)
8. Dalam hal terjadi kesalahan medis (akhtha’ al-thabib) yang tidak diinginkan (KIPI: Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), reaksi vaksin, serta efek samping obat (ma’lul janibiyah) yang menimbulkan
kerugian, bahaya, dan keselamatan nyawa pengguna vaksin. Maka Nabi (saw) menegaskan:
Dari Amru bin Syuaib dari Ayah dan Kakeknya (radhiyallahu’anhum), bersabda Rasulullah (shallallahu’alayhi wasallam): Barangsiapa mengobati sedangkan ia dikenal bukan sebagai seorang dokter, maka ia harus bertanggung jawab (jika terjadi
risiko serius).”
HR Abu Dawud (4586); Nasai (4830) ; Ibnu Majah (3466). Shahihul
Jami’ (7153).
Pasal 29 UU Kesehatan menyebutkan:
“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
Pasal 45 UU Kesehatan:
“Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan
masyarakat.”
Pasal 49 angka (2) UU Kesehatan:
“Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.”
Pasal 58 UU Kesehatan:
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan / atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
9. Terkait point (7) di atas maka, kami memandang:
a. Supaya pemberian/kegiatan vaksinasi hanya dilakukan di tempat yang sudah
dipilih dan ditentukan oleh Pemerintah, sesuai standar penanganan dengan tersedianya kelengkapan peralatan, gedung, dan SDM memadai;
b. Pemberian vaksin tidak ditujukan secara orang perorang atau kepada semua orang yang sehat, apalagi dilakukan dengan paksaan serta di bawah ancaman sanksi dan denda. Sehingga menghilangkan hak sipil warga negara. Karena para Ahli Ilmu sejak awal mengatakan, bahwa obat dan pemberian vaksin, hanya untuk orang yang sakit dan atau terpapar gejala sakit. Tubuh manusia sendiri sudah memiliki daya kekebalan alami;
c. Pemerintah bersikap terbuka dan transparan dalam masalah kebijakan vaksin
dan selalu melibatkan ormas-ormas keagamaan serta mengajak para pakar
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan terlibat secara aktif memberikan
edukasi dan pencerahan kepada masyarakat;
d. Mendorong Pemerintah untuk tanggap, berkomitmen, dan responsif terhadap
penanganan risiko dan efek samping serius yang timbul setelah pemberian vaksin;
e. Mengajak seluruh masyarakat muslim Indonesa untuk senantiasa meningkatkan ibadah kepada Allah, bertobat, bersedekah, dan berdoa, serta tetap sabar dan bertawakal kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dijaga dan dijauhkan oleh Allah Rabbul
‘Alamin dari wabah pandemi, musibah, fitnah dan bala.
C. PENUTUP
Demikian Hasil Telaah ini disampaikan semoga Allah Jalla Jalaluh melindungi, memberkati dan merahmati seluruh elemen bangsa dan tanah-air Indonesia.
DEWAN DA’WAH ISLAMIYAH INDONESIA
Ketua Majelis Fatwa
K.H. Syamsul Bahri Ismaiel, MH
Sekretaris
Dr. Anung Alhamat, MA